Minggu, 13 Maret 2011

Roxette, My Book, and My Love Stories

Oleh: Elie Mulyadi

Thanks, God.
Akhirnya buku yang kesembilan kelar juga.

Sebuah antologi. Disusun sendiri, diterbitkan sendiri. Semoga menjadi hadiah terindah di hari ulang tahunku nanti. 29 Maret tanggal terbitnya, inga-inga...

Apa kali ini temanya?

Seperti buku yang ketujuh (Menemukan Impian Hati), temanya masih tentang cinta. Cuma kali ini judulnya: In Utrecht I Win Back my Love (Kumpulan Kisah Indah tentang Cinta yang Bersemi di Berbagai Belahan Bumi).

Waah, keren kan?! Ehm...ehm...

Ceritanya memang keren-keren sih (^-^). Apalagi buku ini nggak ditulis sendirian. Melainkan sebuah koleksi dari para peserta lomba cerpen yang aku gelar Oktober lalu. Dari segi kualitas cerita, tentu lebih beragam dari sebelumnya, apalagi dilatari setting dari berbagai negara, based on true stories pula.

Nah, sudah dulu deh promosinya. Karena omong-omong soal buku ini, aku jadi teringat satu hal. Ketika rencana terbit buku ini diumumkan, seorang kenalan bertanya kepadaku: “Mbak Elie, kok bukunya tentang cinta lagi sih? Jangan-jangan mau jadi pakar urusan cinta, nih.”

Aku terbengong. Hah? Pakar urusan cinta? Maksudnya apa tuh? Kalau jatuh cinta sih aku pernah, berkali-kali malah. Tapi bukan berarti lantas itu menjadikan aku psikolog cinta, kan?

Yap. Kalau mau flashback, kisah cintaku justru menyebalkan. Beberapa malah bisa dibilang tragis. Bisa disinetronkan mungkin, kalau saja ada produser yang tertarik hehehe...

Yang pasti, omong-omong soal kisah cinta, ROXETTE selalu tak pernah lepas darinya lho. Maksudku, aku sudah mengenal Roxette sejak usia sebelas, dan lagu-lagu hitsnya selalu menemaniku melewati masa-masa terindah (sekaligus terburuk) dalam hidupku, yakni masa REMAJA.

Aku ingat, ketika Per dan Marie merilis album Crash! Boom! Bang!, saat itu aku baru masuk SMA. Aku bertemu dengan seorang kakak senior yang membuatku fall in love untuk pertama kalinya. Di masa ospek, dia datang ke kelasku, memainkan gitar dan menyanyi lagu Hymne ciptaannya, yang waktu itu dinobatkan menjadi Hymne sekolah kami. Semua cewek jumpalitan menyaksikan betapa charming-nya senior ini, termasuk aku. Tak bisa tidur, tak mau makan, inginnya menabrak tembok dan lari menemuinya. Crash, boom, bang!....persis seperti yang Marie lantunkan. (Weleh, weleh...)

Saking terpesonanya oleh sang kakak senior, aku nekat membobol celengan, meraup semua uang recehan untuk dibelikan gitar. Ya, aku ingin belajar main gitar. Karena kalo jago gitar, aku nggak akan lagi terpesona oleh kakak senior itu. (Pikiran yang aneh ya^-^).

“Tunggu aku tiga bulan lagi, dan ayo kita bersaing di panggung nanti!” teriakku sambil menggembreng senar sampai putus! ^-^

Pokoknya, gara-gara kakak senior yang jago main gitar dan mencipta lagu, aku jadi keranjingan alat musik yang satu itu, persis seperti kata Per Gessle: I Love The Sound of Crashing Guitar... (deueu!)

Tiga bulan latihan. Jadikah aku bersaing dengan sang kakak senior di panggung musik?

Tentu saja nggak! Pertama, aku memang nggak bakat main gitar, bisanya cuma gertak sambal (hehe). Kedua, aku nggak harus berduel dengannya karena ternyata kami punya perasaan sama. Maksudku, sama-sama fall in love. (Wah, gayung bersambut nih. Asyik...!)

Tunggu dulu. Ceritanya nggak semulus itu.

Di saat aku dan kakak senior mulai melihat kesamaan perasaan, Ayah dan Ibu mengenalkan aku pada seorang cowok yang katanya akan menjadi ‘jodoh’ku. Wah, cerita klasik banget ya. Tapi begitulah realitanya. Aku bukan gadis yang jelek, tapi juga nggak bisa dibilang cantik (^-^). Jadi heran juga mengapa ada ibu-ibu pejabat yang begitu ‘ngebet’ menjodohkanku dengan putranya yang terkenal GTB (ganteng tapi bengal) itu.

Aku tahu si GTB ini samasekali nggak tertarik padaku, tapi ibunya begitu agresif berusaha menjodohkan kami. Jengkel sekali rasanya ketika aku terus dipaksa mengikuti ritual yang norak: jalan-jalan pelesir dengan cowok itu, bersama sang ibu yang duduk di jok belakang kami, menonton kami dan terus menginterupsi agar di antara kami tumbuh chemistry. “Sok atuh AA, pegang tangannya si Neng! Nah gitu dong biar mesraan dikit!” dan provokasi lainnya yang membuatku jengah dan malu...^-^

Sedih, karena yang ada di hatiku saat itu hanyalah sang kakak senior. Rasanya ingin lari dari muka bumi dan kabur ke awan bersamanya, andai aku bisa. Seperti lagunya Marie waktu itu, I’m gonna run to you...i’m gonna count on you...I’m gonna follow...baby, what else can I do?

Dinding nasib seakan memisahkan cinta dua insan. Kehadiran GTB dalam hidupku, juga kenyataan bahwa kakak senior itu digandrungi banyak perempuan selain aku, membuatku tahu, perasaan ini tak mungkin terus dipupuk. Aku harus mulai meyakini, bahwa sang kakak senior hanya sebuah imajinasi saja. Itulah mengapa aku jadi bersikap agak cuek terhadapnya. Dia bertanya kenapa, dan aku menjawab bahwa aku merasa tidak cukup cantik untuknya. (o-ow!)

Tentu saja dia tidak mempercayai alasan itu!

“Meskipun kamu nggak cantik, seharusnya kamu lebih menghargai perasaan yang tumbuh di antara kita, ” begitu katanya. Aku menangis, tersinggung sekaligus terharu oleh kata-katanya. “Kamu seharusnya lebih percaya diri dong,” katanya lagi, sok menasihati. Hey, kata-katanya itu lho. Berbohonglah sedikit bahwa aku cantik! Bisa, kan? ^-^

Meski kakak senior terus meyakinkanku akan perasaannya (dia bahkan diam-diam menciptakan lagu untukku), aku merasa he’s not the one for me. Aku menjauh darinya. Dia tidak mau melepasku. Aku pun berlari. Dia mengejar, dan lariku semakin kencang. Akhirnya dia menyerah.

Dua bulan kemudian, dia jadian. Dengan salah satu gadis tercantik di sekolah kami. Hatiku seperti diremas-remas setiapkali melihat mereka jalan bareng. Diam-diam aku bertanya, apa yang mereka lakukan usai jam sekolah? Malam minggu mereka seperti apa? Apa yang dia ucapkan pada kekasihnya saat memandangnya? Seperti apa gadis itu menatap dan tersenyum padanya? What ‘s she like? When she turns around to kiss you goodnight....Lagu Marie menemani kesepian hatiku. Aku berbaring di kamar dengan mata setengah terpejam. Kurasakan bulir-bulir air bening menggenangi pelupuk, mengaliri pipi, membasahi bantal dan diary. Itulah patah hatiku...patah hati pertamaku.

Lalu usiaku beranjak enam belas. Aku harus mulai merangkai harapan baru. Si GTB. Ya! Akhirnya dia. Meski aku jauh dari menyukainya, setidaknya dialah yang dekat denganku saat itu. Apalagi kedua orangtua kami sudah mendiskusikan serius masalah ini. Bahwa kami akan segera ditunangkan. Aku tidak suka si GTB, tapi aku suka ide tunangannya. Lumayan buat melupakan kakak senior. Jadi kusambut baik rencana itu.

Ternyata, GTB bersikap sebaliknya. Rupanya dia tidak mau menjadi yesman bagi orang tuanya. Dia punya pacar di belakang kami. Dia mengaku ingin kawin lari! Tentu saja aku marah. Bukan karena cemburu. Tapi karena tersinggung. Sejelek itukah aku hingga dia nekat berbuat begitu demi menolak pertunangan denganku?

Segera setelah kabar itu datang, aku menelepon GTB bahwa dia tak perlu berbuat seekstrim itu hanya agar pertunangan kami batal. Aku bisa maklum kok bila dia tak bisa mencintaiku sebagaimana harapan orang tuanya. Jangankan mengucap terima kasih, dia bahkan tak mau menjawab teleponku! Aku hanya bisa berkata pada ibunya bahwa rencana pertunangan ini harus dibatalkan. Sang ibu menangis. Aku hanya bisa minta maaf. You know I’m sorry i have to go...I’m really sorry it had to die...I’m really sorry i’ve made you cry...begitulah, persis seperti lagu Marie yang mewakili perasaanku saat itu.

Perjalanan cintaku belum berhenti sampai di sini.

Setahun kemudian, seorang teman sekelas yang manis, mencuri perhatianku karena kebaikan hatinya. Kebetulan saja tampangnya seperti Gerard Christopher, pemain Superman versi TV zaman dulu. Tapi sikapnya yang santun dan perhatianlah yang membuatku fall in love untuk kedua kalinya. Kabar baiknya, kami saling menyayangi. Kabar buruknya, orientasi rasa sayang kami berbeda. Aku menyayanginya sebagai teman istimewa. Dia menyayangiku sebagai...teman biasa!

Yap. Waktu itu aku berniat mengungkapkan perasaan cinta untuknya. Baru saja akan kusampaikan, dia keburu berkata, “Hei, tolong bikinin surat cinta dong. Aku lagi fall in love sama adik kelas nih.”

Malam itu, aku menulis surat cinta dengan bercucuran air mata. Di TV kudengar lamat-lamat suara Marie mengalunkan single terbarunya: You Don’t Understand Me....Ya, benar kata Marie. Terkadang lelaki memang tidak peka pada perasaan perempuan! Seenaknya saja menyuruh bikin surat cinta pada orang yang mencintainya. Hah, dasar...!

Setelah itu, cinta dan benci terus datang silih berganti dalam hidupku. Berkali-kali aku jatuh cinta, berkali-kali pula aku jatuh cinta pada pria yang salah. Akhirnya aku bosan. Kuputuskan untuk menikah, dengan seseorang yang baik dan perhatian. Dialah soulmate-ku, pria terbaik yang kudapatkan usai melewati tahun demi tahun kegagalan. Ternyata dia benar-benar Mr. Right, pria yang tulus menyayangiku hingga sekarang. Lagu A Thing About You menjadi pengantar honeymoon kami di Pantai Marina. Album Per Gessle Son of a Plumber menghiasi ultah pernikahanku yang ke-3. Album Party Crasher menjadi soundtrack perayaan ultah pernikahanku yang ke-5. Dan sekarang, album Charm School menghiasi hari-hari kami, menjadi pengantar kisah cinta yang semakin indah dari hari ke hari.

Begitulah kisahku. Dulu aku sering berkesah, mengapa kisah itu tak berjalan indah.

Tapi sekarang...terima kasih, Tuhan.

Akhirnya aku sadar...kenapa kisah cintaku menyedihkan. Agar aku bisa merasakan pahit getirnya mencintai seseorang. Agar aku lebih menghargai cinta yang kudapatkan. Agar aku bisa berbagi dengan mereka yang patah hati, karena aku sendiri mengalami. Dan terutama agar aku bisa menuliskannya, lewat pena dan kata-kata. Sehingga terbitlah buku-buku karyaku yang bertemakan cinta.

Buku terbaruku akan terbit 29 Maret ini. Dalam antologi ini aku menulis: “Jangan putus asa karena cinta, sebab semakin tragis kisahnya, semakin bagus cerita yang akan kautulis.”

Ya. Nikmatilah cinta sebagai sebuah perjalanan, sebuah proses pendewasaan, setidaknya pendewasaan perasaan. Semakin sering rasa sedih menghampiri, semakin tebal rasa syukur saat bahagia datang kembali.

Terima kasih, Roxette, yang telah setia menemaniku menikmati perjalanan itu, lewat lagu-lagunya yang begitu tepat menggambarkan perasaan-perasaanku.()

Berikut ini deskripsi bukunya:




Judul : In Utrecht I Win Back My Love dan cerita-cerita lainnya
Penerbit: BWS Literary Consulting
Penyusun: Elie Mulyadi
Ukuran : 13,5 cm x 20 cm
Terbit : 29 Maret 2011
Harga : Rp 49.000 (disc 10% untuk pemesanan sebelum tgl 15 Maret 2011)
Cara Pesan Buku
Info selengkapnya tentang buku ini, lihat di sini