Minggu, 13 Maret 2011

Roxette, My Book, and My Love Stories

Oleh: Elie Mulyadi

Thanks, God.
Akhirnya buku yang kesembilan kelar juga.

Sebuah antologi. Disusun sendiri, diterbitkan sendiri. Semoga menjadi hadiah terindah di hari ulang tahunku nanti. 29 Maret tanggal terbitnya, inga-inga...

Apa kali ini temanya?

Seperti buku yang ketujuh (Menemukan Impian Hati), temanya masih tentang cinta. Cuma kali ini judulnya: In Utrecht I Win Back my Love (Kumpulan Kisah Indah tentang Cinta yang Bersemi di Berbagai Belahan Bumi).

Waah, keren kan?! Ehm...ehm...

Ceritanya memang keren-keren sih (^-^). Apalagi buku ini nggak ditulis sendirian. Melainkan sebuah koleksi dari para peserta lomba cerpen yang aku gelar Oktober lalu. Dari segi kualitas cerita, tentu lebih beragam dari sebelumnya, apalagi dilatari setting dari berbagai negara, based on true stories pula.

Nah, sudah dulu deh promosinya. Karena omong-omong soal buku ini, aku jadi teringat satu hal. Ketika rencana terbit buku ini diumumkan, seorang kenalan bertanya kepadaku: “Mbak Elie, kok bukunya tentang cinta lagi sih? Jangan-jangan mau jadi pakar urusan cinta, nih.”

Aku terbengong. Hah? Pakar urusan cinta? Maksudnya apa tuh? Kalau jatuh cinta sih aku pernah, berkali-kali malah. Tapi bukan berarti lantas itu menjadikan aku psikolog cinta, kan?

Yap. Kalau mau flashback, kisah cintaku justru menyebalkan. Beberapa malah bisa dibilang tragis. Bisa disinetronkan mungkin, kalau saja ada produser yang tertarik hehehe...

Yang pasti, omong-omong soal kisah cinta, ROXETTE selalu tak pernah lepas darinya lho. Maksudku, aku sudah mengenal Roxette sejak usia sebelas, dan lagu-lagu hitsnya selalu menemaniku melewati masa-masa terindah (sekaligus terburuk) dalam hidupku, yakni masa REMAJA.

Aku ingat, ketika Per dan Marie merilis album Crash! Boom! Bang!, saat itu aku baru masuk SMA. Aku bertemu dengan seorang kakak senior yang membuatku fall in love untuk pertama kalinya. Di masa ospek, dia datang ke kelasku, memainkan gitar dan menyanyi lagu Hymne ciptaannya, yang waktu itu dinobatkan menjadi Hymne sekolah kami. Semua cewek jumpalitan menyaksikan betapa charming-nya senior ini, termasuk aku. Tak bisa tidur, tak mau makan, inginnya menabrak tembok dan lari menemuinya. Crash, boom, bang!....persis seperti yang Marie lantunkan. (Weleh, weleh...)

Saking terpesonanya oleh sang kakak senior, aku nekat membobol celengan, meraup semua uang recehan untuk dibelikan gitar. Ya, aku ingin belajar main gitar. Karena kalo jago gitar, aku nggak akan lagi terpesona oleh kakak senior itu. (Pikiran yang aneh ya^-^).

“Tunggu aku tiga bulan lagi, dan ayo kita bersaing di panggung nanti!” teriakku sambil menggembreng senar sampai putus! ^-^

Pokoknya, gara-gara kakak senior yang jago main gitar dan mencipta lagu, aku jadi keranjingan alat musik yang satu itu, persis seperti kata Per Gessle: I Love The Sound of Crashing Guitar... (deueu!)

Tiga bulan latihan. Jadikah aku bersaing dengan sang kakak senior di panggung musik?

Tentu saja nggak! Pertama, aku memang nggak bakat main gitar, bisanya cuma gertak sambal (hehe). Kedua, aku nggak harus berduel dengannya karena ternyata kami punya perasaan sama. Maksudku, sama-sama fall in love. (Wah, gayung bersambut nih. Asyik...!)

Tunggu dulu. Ceritanya nggak semulus itu.

Di saat aku dan kakak senior mulai melihat kesamaan perasaan, Ayah dan Ibu mengenalkan aku pada seorang cowok yang katanya akan menjadi ‘jodoh’ku. Wah, cerita klasik banget ya. Tapi begitulah realitanya. Aku bukan gadis yang jelek, tapi juga nggak bisa dibilang cantik (^-^). Jadi heran juga mengapa ada ibu-ibu pejabat yang begitu ‘ngebet’ menjodohkanku dengan putranya yang terkenal GTB (ganteng tapi bengal) itu.

Aku tahu si GTB ini samasekali nggak tertarik padaku, tapi ibunya begitu agresif berusaha menjodohkan kami. Jengkel sekali rasanya ketika aku terus dipaksa mengikuti ritual yang norak: jalan-jalan pelesir dengan cowok itu, bersama sang ibu yang duduk di jok belakang kami, menonton kami dan terus menginterupsi agar di antara kami tumbuh chemistry. “Sok atuh AA, pegang tangannya si Neng! Nah gitu dong biar mesraan dikit!” dan provokasi lainnya yang membuatku jengah dan malu...^-^

Sedih, karena yang ada di hatiku saat itu hanyalah sang kakak senior. Rasanya ingin lari dari muka bumi dan kabur ke awan bersamanya, andai aku bisa. Seperti lagunya Marie waktu itu, I’m gonna run to you...i’m gonna count on you...I’m gonna follow...baby, what else can I do?

Dinding nasib seakan memisahkan cinta dua insan. Kehadiran GTB dalam hidupku, juga kenyataan bahwa kakak senior itu digandrungi banyak perempuan selain aku, membuatku tahu, perasaan ini tak mungkin terus dipupuk. Aku harus mulai meyakini, bahwa sang kakak senior hanya sebuah imajinasi saja. Itulah mengapa aku jadi bersikap agak cuek terhadapnya. Dia bertanya kenapa, dan aku menjawab bahwa aku merasa tidak cukup cantik untuknya. (o-ow!)

Tentu saja dia tidak mempercayai alasan itu!

“Meskipun kamu nggak cantik, seharusnya kamu lebih menghargai perasaan yang tumbuh di antara kita, ” begitu katanya. Aku menangis, tersinggung sekaligus terharu oleh kata-katanya. “Kamu seharusnya lebih percaya diri dong,” katanya lagi, sok menasihati. Hey, kata-katanya itu lho. Berbohonglah sedikit bahwa aku cantik! Bisa, kan? ^-^

Meski kakak senior terus meyakinkanku akan perasaannya (dia bahkan diam-diam menciptakan lagu untukku), aku merasa he’s not the one for me. Aku menjauh darinya. Dia tidak mau melepasku. Aku pun berlari. Dia mengejar, dan lariku semakin kencang. Akhirnya dia menyerah.

Dua bulan kemudian, dia jadian. Dengan salah satu gadis tercantik di sekolah kami. Hatiku seperti diremas-remas setiapkali melihat mereka jalan bareng. Diam-diam aku bertanya, apa yang mereka lakukan usai jam sekolah? Malam minggu mereka seperti apa? Apa yang dia ucapkan pada kekasihnya saat memandangnya? Seperti apa gadis itu menatap dan tersenyum padanya? What ‘s she like? When she turns around to kiss you goodnight....Lagu Marie menemani kesepian hatiku. Aku berbaring di kamar dengan mata setengah terpejam. Kurasakan bulir-bulir air bening menggenangi pelupuk, mengaliri pipi, membasahi bantal dan diary. Itulah patah hatiku...patah hati pertamaku.

Lalu usiaku beranjak enam belas. Aku harus mulai merangkai harapan baru. Si GTB. Ya! Akhirnya dia. Meski aku jauh dari menyukainya, setidaknya dialah yang dekat denganku saat itu. Apalagi kedua orangtua kami sudah mendiskusikan serius masalah ini. Bahwa kami akan segera ditunangkan. Aku tidak suka si GTB, tapi aku suka ide tunangannya. Lumayan buat melupakan kakak senior. Jadi kusambut baik rencana itu.

Ternyata, GTB bersikap sebaliknya. Rupanya dia tidak mau menjadi yesman bagi orang tuanya. Dia punya pacar di belakang kami. Dia mengaku ingin kawin lari! Tentu saja aku marah. Bukan karena cemburu. Tapi karena tersinggung. Sejelek itukah aku hingga dia nekat berbuat begitu demi menolak pertunangan denganku?

Segera setelah kabar itu datang, aku menelepon GTB bahwa dia tak perlu berbuat seekstrim itu hanya agar pertunangan kami batal. Aku bisa maklum kok bila dia tak bisa mencintaiku sebagaimana harapan orang tuanya. Jangankan mengucap terima kasih, dia bahkan tak mau menjawab teleponku! Aku hanya bisa berkata pada ibunya bahwa rencana pertunangan ini harus dibatalkan. Sang ibu menangis. Aku hanya bisa minta maaf. You know I’m sorry i have to go...I’m really sorry it had to die...I’m really sorry i’ve made you cry...begitulah, persis seperti lagu Marie yang mewakili perasaanku saat itu.

Perjalanan cintaku belum berhenti sampai di sini.

Setahun kemudian, seorang teman sekelas yang manis, mencuri perhatianku karena kebaikan hatinya. Kebetulan saja tampangnya seperti Gerard Christopher, pemain Superman versi TV zaman dulu. Tapi sikapnya yang santun dan perhatianlah yang membuatku fall in love untuk kedua kalinya. Kabar baiknya, kami saling menyayangi. Kabar buruknya, orientasi rasa sayang kami berbeda. Aku menyayanginya sebagai teman istimewa. Dia menyayangiku sebagai...teman biasa!

Yap. Waktu itu aku berniat mengungkapkan perasaan cinta untuknya. Baru saja akan kusampaikan, dia keburu berkata, “Hei, tolong bikinin surat cinta dong. Aku lagi fall in love sama adik kelas nih.”

Malam itu, aku menulis surat cinta dengan bercucuran air mata. Di TV kudengar lamat-lamat suara Marie mengalunkan single terbarunya: You Don’t Understand Me....Ya, benar kata Marie. Terkadang lelaki memang tidak peka pada perasaan perempuan! Seenaknya saja menyuruh bikin surat cinta pada orang yang mencintainya. Hah, dasar...!

Setelah itu, cinta dan benci terus datang silih berganti dalam hidupku. Berkali-kali aku jatuh cinta, berkali-kali pula aku jatuh cinta pada pria yang salah. Akhirnya aku bosan. Kuputuskan untuk menikah, dengan seseorang yang baik dan perhatian. Dialah soulmate-ku, pria terbaik yang kudapatkan usai melewati tahun demi tahun kegagalan. Ternyata dia benar-benar Mr. Right, pria yang tulus menyayangiku hingga sekarang. Lagu A Thing About You menjadi pengantar honeymoon kami di Pantai Marina. Album Per Gessle Son of a Plumber menghiasi ultah pernikahanku yang ke-3. Album Party Crasher menjadi soundtrack perayaan ultah pernikahanku yang ke-5. Dan sekarang, album Charm School menghiasi hari-hari kami, menjadi pengantar kisah cinta yang semakin indah dari hari ke hari.

Begitulah kisahku. Dulu aku sering berkesah, mengapa kisah itu tak berjalan indah.

Tapi sekarang...terima kasih, Tuhan.

Akhirnya aku sadar...kenapa kisah cintaku menyedihkan. Agar aku bisa merasakan pahit getirnya mencintai seseorang. Agar aku lebih menghargai cinta yang kudapatkan. Agar aku bisa berbagi dengan mereka yang patah hati, karena aku sendiri mengalami. Dan terutama agar aku bisa menuliskannya, lewat pena dan kata-kata. Sehingga terbitlah buku-buku karyaku yang bertemakan cinta.

Buku terbaruku akan terbit 29 Maret ini. Dalam antologi ini aku menulis: “Jangan putus asa karena cinta, sebab semakin tragis kisahnya, semakin bagus cerita yang akan kautulis.”

Ya. Nikmatilah cinta sebagai sebuah perjalanan, sebuah proses pendewasaan, setidaknya pendewasaan perasaan. Semakin sering rasa sedih menghampiri, semakin tebal rasa syukur saat bahagia datang kembali.

Terima kasih, Roxette, yang telah setia menemaniku menikmati perjalanan itu, lewat lagu-lagunya yang begitu tepat menggambarkan perasaan-perasaanku.()

Berikut ini deskripsi bukunya:




Judul : In Utrecht I Win Back My Love dan cerita-cerita lainnya
Penerbit: BWS Literary Consulting
Penyusun: Elie Mulyadi
Ukuran : 13,5 cm x 20 cm
Terbit : 29 Maret 2011
Harga : Rp 49.000 (disc 10% untuk pemesanan sebelum tgl 15 Maret 2011)
Cara Pesan Buku
Info selengkapnya tentang buku ini, lihat di sini

Selasa, 02 Februari 2010

Motivational Song: When I'm Gone

by: Simpe Plan

(We're doin' it)

I look around me
But all I seem to see
Is people going nowhere
Expecting sympathy

It's like we're going through the motions
Of a scripted destiny
Tell me where's our inspiration
If life won't wait
I guess it's up to me

Whoa!
No, we're not gonna waste another moment in this town
Whoa!
And we won't come back
The world is calling out
Whoa!
We'll leave the past in the past
Gonna find the future
If misery loves company
Well, so long, you'll miss me when I'm gone (ohh...ohh...ohh...)
You're gonna miss me when I'm gone (ohh...ohh...ohh...)

Procrastination running circles in my head
While you sit there contemplating
You wound up left for dead (you're left for dead)
Life is what happens while you're busy making your excuses
Another day, another casualty
But that won't happen to me

Whoa!
No, we're not gonna waste another moment in this town
Whoa!
And we won't come back
The world is calling out
Whoa!
We'll leave the past in the past
Gonna find the future
If misery loves company
Well, so long, you'll miss me when I'm gone (ohh...ohh...ohh...)
You're gonna miss me when I'm gone (ohh...ohh...ohh...)

You're gonna miss me when I'm gone
When I'm gone

Let's go!

Won't look back
When I say goodbye
I'm gonna leave this a hole behind me
Gonna take what's mine tonight
Cause every wasted day
Becomes a wasted chance
You're gonna wake up feeling sorry
Because life won't wait
I guess it's up to you

Whoa!
No, we're not gonna waste another moment in this town
Whoa!
And we won't come back
The world is calling out
Whoa!
We'll leave the past in the past
Gonna find the future
If misery loves company
Well, so long, you'll miss me when I'm gone (ohh...ohh...ohh...)
You're gonna miss me when I'm gone (ohh...ohh...ohh...)

You're gonna miss me when I'm gone (ohh...ohh...ohh...)
You're gonna miss me when I'm gone (ohh...ohh...ohh...)
You're gonna miss me when I'm gone (ohh...ohh...ohh...)
You're gonna miss me when I'm gone.

Download lagunya di sini: Simple Plan - When I'm Gone.mp3

Senin, 14 September 2009

Review and Sharing Buku "Ramadhan di Musim Gugur" 1

KESAN TERHADAP RAMADHAN DI MUSIM GUGUR
Oleh: Haya Aliya Zaki (haya_az@yahoo.com)

Buku Elie Mulyadi yang pertama kali saya baca adalah: Kerjaku Ibadahku. Saya sangat suka ragam kisahnya. Juga cara penulisnya bertutur. Tak pernah saya bosan untuk berulang menekuri. Setiap membaca buku itu, api semangat kembali bergelora dan puji syukur kian membuncah, atas pekerjaan yang Allah anugerahkan kepada saya kini.

Seorang sahabat, Rini Nurul Badariah (kalau boleh saya menyebut nama), mengabarkan bahwa telah terbit buku terbaru karya Elie Mulyadi berjudul: Ramadhan di Musim Gugur. Saya langsung bersigap mengangkat langkah ke toko buku. Dan ternyata, pesona Ramadhan di Musim Gugur melebihi dugaan saya. Kisah-kisahnya terjalin begitu cantik dan lembut. Tema-nya banyak macam. Ketika membacanya, kalbu saya beralih-alih suasana, mulai dari haru, sedih, senang, hingga gelak tawa. Akhirnya, buku yang memuat 29 batang kisah itu tuntas saya tebas dalam satu malam.

Kisah yang membuat saya meneteskan air mata adalah Jalan Panjang Tak Berujung. Kisah tokoh Sarah mirip dengan kejadian yang menimpa tante saya, Sri, meski tidak sama persis. Menjelang lebaran, Tante Sri kehilangan 2 orang yang dicintainya –suami dan anak bungsunya- sekaligus, dengan cara tragis. Tante Sri termasuk sanak kerabat yang sangat saya sayangi. Maka, ketika ia dihampiri musibah ini, batin saya seolah ikut dicacah perih keadaan. Berikut kisahnya.

Tante Sri ditinggal wafat suaminya (Om Fadil) pada saat usia pernikahan mereka terbilang lumayan belia. Om Fadil meninggal karena sakit diabetes. Karena tak mampu menutup biaya rumah kontrakan yang ditempati, akhirnya Tante Sri bersama sepupu-sepupu saya yang masih kecil, Ratih dan Maya, terpaksa pindah.

Alhamdulillah, tak perlu mencari lama, Tante Sri sudah mendapat rumah kontrakan baru. Memang tak sebesar yang sudah, tapi cukuplah untuk ditinggali mereka bertiga. Tante Sri membuka warung kecil-kecilan di depan rumah. Warung itu cukup laris karena Tante Sri yang cantik, sangat ramah dan luwes melayani pembeli. Setiap bulan ibu saya pun rutin membantu keuangan Tante Sri, meski kala itu kondisi ekonomi keluarga kami terbilang jauh dari mapan.

Berhubung Ibu dan Tante Sri hanya 2 bersaudara, simpul darah antar mereka sangat kuat. Hal ini menular kepada saya. Saya sangat sayang pada Tante Sri. Saya merasa Tante Sri adalah keluarga terdekat yang saya miliki, selain keluarga inti. Sedangkan Kakek-Nenek dan keluarga besar lain, menetap di kampung semua.

Bertahun-tahun Tante Sri hidup sendiri. Pria yang melamar datang silih berganti. Saya tersenyum-senyum melihat cara mereka meraih simpati Tante Sri. Ada yang datang dengan mobil mewah, berpakaian rapi dan hmmm…wanginyaaa….(bikin kepala ini pening), membelikan aneka hadiah, sampai membawakan makanan enak-enak. Nah, kalau yang terakhir, saya sering kecipratan hihihi….Namun, ‘secanggih’ apa pun usaha mereka, Tante Sri tetap tak bisa menjatuhkan pilihan. Bayangkan, semua yang melamar Tante Sri adalah pria beristri! Tentu saja Tante Sri menolak! Ia tidak mau dicap sebagai wanita perusak rumah tangga orang.

Hingga suatu ketika, Tante Sri berkenalan dengan seorang pemuda, Mas Agus, namanya. Ia dan keluarganya penghuni baru di daerah tempat tinggal Tante Sri. Mas Agus pemuda yang gagah dan tampan. Secara fisik, ia sangat menarik. Pendidikannya pun baik. Saat itu ia berstatus mahasiswa. Saya yakin banyak dara yang tertusuk panah sang dewi amor ketika memandangnya.

Mas Agus sering mampir ke warung Tante Sri. Mula-mula, sikap Mas Agus sama seperti pembeli-pembeli lain. Tapi lama kelamaan, ada yang aneh. Mas Agus dan Tante Sri sering saya lihat bergurau mesra. Ia betah duduk berjam-jam di warung Tante Sri hingga saya merasa risih. Apalagi Ratih dan Maya. Wajah mereka jelas murung melihat sang ibu bergaul akrab dengan Mas Agus. Saya perhatikan, kalau tidak karena segan pada ibu, Mas Agus dan Tante Sri tak akan beranjak dari duduk mereka. Beberapa kali saya merapat dengar ketika ibu menasihati Tante Sri. Ibu kuatir sikap Tante Sri dan Mas Agus menjadi santapan empuk para tetangga penggunjing.

Setahun berlalu, Tante Sri menemui keluarga kami dengan membawa kejutan sepahit empedu. Tante Sri akan menikah dengan Mas Agus!

"Apakah ibunya setuju kau menikah dengan anaknya, Sri?!” tanya ibu saya pada Tante Sri. Suaranya membelah ruangan. Matanya menjelma belati.

Tante Sri terdiam beberapa jenak. “Tidak…” jawabnya lirih. “Agus berkata, ibunya tak akan mengijinkan ia menikah dengan seorang janda…”

“….dan, berumur pula…!” potong ibu saya, cepat.

“Tapi ia mencintai aku! Dan yang paling penting, ia lelaki bebas! Tidak seperti lelaki lain yang pernah melamarku!” Tante Sri membela diri.

Ibu terhenyak lemas di kursi. “Sadarkah kau, Sri? Usia kalian terpaut 15 tahun! Bukannya aku kejam sama kau, tapi terus terang aku pesimis kalau mengingat bakal seperti apa biduk rumah tanggamu nanti! Bagaimana perasaan anak-anakmu pula? Sudah kau pikirkan masak-masak keputusanmu?”

Saya mengingat pasti, semenjak peristiwa itu, hubungan ibu saya dan Tante Sri menjadi renggang. Tante Sri selalu memaling wajah bila ibu mulai mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan seputar rencana pernikahannya dengan Mas Agus. Ratih dan Maya hanya bisa pasrah. Sepertinya tak ada lagi yang bisa menghadang niat ibu mereka.

“Walau Kakak tak kunjung mengulur restu, aku akan tetap menikah!” demikian putus Tante Sri, tajam. Tante Sri yang selalu berlisan halus, mendadak berubah. Ia sering meradang dan merepet seharian. Akhirnya, bagai hati tertindih bongkahan batu, ibu merestui pernikahan Tante Sri. Tapi ibu tak ikut menghadiri akad nikah itu karena pernikahan Tante Sri dan Mas Agus dilaksanakan di suatu tempat, entah dimana. Tak ada keluarga kami yang hadir, demikian pula keluarga Mas Agus. Tak boleh ada foto-foto. Pernikahan yang tak wajar, menurut saya. Tapi itu semua atas permintaan Mas Agus. Setelah menikah, Tante Sri dan sepupu-sepupu saya diboyong pindah ke rumah kontrakan lain. Yang jauh dari tempat tinggal keluarga Mas Agus. Mas Agus benar-benar menyimpan rapi pernikahannya dengan Tante Sri.

Alhamdulillah, beberapa waktu kemudian, kami dicurahi kabar bahagia. Ratih lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri, di kota kami. Tak tanggung-tanggung, ia diterima di jurusan kedokteran! Sedangkan Maya, naik kelas I SMA. Selepas kuliah, Mas Agus pun sudah mendapatkan pekerjaan di pelayaran. Sekian bulan ia mesti berlayar mencari rezeki, meninggalkan Tante Sri sekeluarga. Tapi bagi Tante Sri itu tidak masalah. Ia percaya penuh pada Mas Agus.

Kabar bahagia datang lagi. Dalam waktu tak berjauhan, Ratih lulus ujian masuk STAN! Amboi, siapa yang tak tergiur dengan kuliah bebas dana? Ratih memilih meninggalkan studi kedokteran dan beranjak memasuki STAN. Tapi apa jawaban Mas Agus?

“Jangan sekali-sekali ditinggalkannya kuliah kedokteran itu! Aku yang akan membiayai! Berapa pun! Jangan kuatir!”

Berbungalah hati Tante Sri mendengar tekad Mas Agus. Ratih mantap melanjutkan kuliah kedokterannya. Perhatian Mas Agus pada keluarga terjaga dan kiriman uang lancar, sesuai janji. Tak berapa lama, saya menikah dan tinggal di kota lain bersama suami. Tapi kabar tentang Tante Sri masih erat menyapa telinga saya.

Ternyata, manisnya madu yang direguk Tante Sri, hanya bermasa singkat. Mas Agus mulai susah dihubungi saat berlayar. Kalau pun pulang, ia hanya pulang ke rumah ibunya. Tidak ke rumah Tante Sri. Kiriman uang juga tersendat. Dan akhirnya, Mas Agus seperti benar-benar raib ditelan bumi.

Tante Sri panik. Ratih dan Maya panik. Kami semua panik. Tante Sri putar otak menyambung hidup. Ratih dan Maya bingung bagaimana cara melanjutkan pendidikan mereka. Keluarga kami geram tak terbilang. Setahun lebih lamanya Mas Agus hilang tanpa pesan.

Di bulan Romadhon, ketika hari masih muda, tahu-tahu Mas Agus muncul di rumah Tante Sri. Bukan main marahnya Tante Sri. Ia menangis panjang. Ia merasa disia-siakan. Mas Agus menelan semua amarah dan tangisan itu dengan sikap dingin. Tante Sri mendadak ditikam takut melihat sikap suaminya. Benar saja.

“Aku akan menikah dengan gadis pilihan orangtuaku,” desis Mas Agus, singkat. “Lagipula, kita belum juga dikaruniai anak…”

Tak peduli Tante Sri meraung-raung sambil bersujud menahan langkahnya, Mas Agus tetap pergi. Dan hari itu adalah hari terakhir ia menjejakkan kaki di rumah Tante Sri.

Beberapa hari kemudian, saya mendengar berita kalau Maya sakit. Hanya sakit panas. Ratih telah memberinya obat. Tapi setelah 4 hari, karena panasnya tak kunjung turun, rencananya Maya akan dibawa ke rumah sakit. Ketika sedang bersiap-siap hendak berangkat, leher Maya telah terkulai. Ia dipanggil menghadap Sang Khalik.

Kematian Maya yang tiba-tiba, membuat syok keluarga kami. Karena baru melahirkan, saya tidak bisa hadir pada pemakaman Maya. Keadaan waktu itu sangat memprihatinkan. Saya dengar, Tante Sri bertingkah seperti orang gila. Ia sangat stres. Lebaran pun disambut tangisan menyayat hati.

Butuh waktu bertahun-tahun bagi Tante Sri untuk pulih dari kondisi psikis yang sempat terjerembab. Alhamdulillah, sesudah kesulitan, pasti ada kemudahan. Allah selalu menepati janji-Nya. Selanjutnya, kebahagiaan kembali tercurah pada keluarga Tante Sri. Meski terseok-seok biaya, Ratih berhasil menyelesaikan kuliahnya dan sekarang sudah membuka praktik sendiri di rumah. Kemudian Ratih dianugerahi jodoh pria santun, sholih, dan pekerja keras. Tante Sri tinggal bersama anak dan menantunya. Kini ia sedang bersiap menanti kelahiran sang cucu ke dunia.

Saya yakin, tokoh Sarah akan menemukan kembali kebahagiaannya yang pernah terengut, seperti tante saya. Saya yakin, lebaran yang akan datang, entah kapan, telaga kasih sayang akan sempurna membasuhnya, lahir batin. Saya turut mendoakan…. ***

Review and Sharing Buku "Ramadhan di Musim Gugur" 2

RDMG, CERITANYA GUE BANGET!!!
Oleh: Indah Julianti (indahjuli@gmail.com)

Ketika memutuskan membeli buku ini, awalnya saya tertarik dengan covernya yang cantik. Covernya sangat metropolis dengan warna-warna yang ceria. Penasaran dengan isi buku yang dituliskan berisi kisah-kisah seru, lucu dan mengharukan seputar mudik dan merayakan lebaran, saya pun membelinya.

Tanpa membuang waktu lama (seperti beberapa buku lain, yang sudah saya beli tapi belum sempat dibaca), sepulang dari Gramedia Matraman, Jakarta Timur, saya langsung membaca buku Ramadhan di Musim Gugur ini menjelang waktu buka puasa.

Satu halaman, dua halaman, tiga halaman, empat halaman, hingga tak terasa satu judul cerita selesai tapi tak menghentikan keinginan saya untuk membaca cerita lainnya. Biasanya, saya suka penasaran dengan akhir cerita dari sebuah buku atau ingin mengetahui cerita apa yang terakhir, tetapi untuk buku Ramadhan di Musim Gugur ini, saya konsisten membacanya per cerita secara berurutan.

Setelah berbuka, sambil menunggu suami dan anak-anak pulang dari sholat tarawih, ditemani si putri terkecil yang masih berusia 3 bulan, saya meneruskan membaca Ramadhan di Musim Gugur. Dan ketika suami dan dua putri saya kembali dari sholat tarawih, saya pun telah menyelesaikan buku itu hingga cerita terakhir (Tamu Tak Diundang) dan profil penulis serta kontributornya.

Yap, untuk satu buku yang mengesankan memang tidak perlu waktu yang lama untuk menuntaskan membacanya. Tak perlu menunda-nunda membaca karena banyak cerita yang menarik dan inspiratif di buku itu. Selain itu, meski tema buku ini seputar mudik dan merayakan lebaran, namun tidak terjebak dalam keseragaman cerita.
Penulis mampu menyajikan tema mudik dan merayakan lebaran dengan berbagai versi sehingga pembaca mendapat cerita-cerita yang berbeda. Pembaca juga dapat merasakan rasa suka, sedih, bahkan tersenyum-senyum sendiri ketika membaca cerita yang mampu menembus relung hatinya.

Lalu cerita apa yang menarik buat saya ? Mayoritas cerita menarik dan membuat saya terharu biru. Bahkan di beberapa cerita, saya sempat menangis dalam hati ketika membacanya.

Misalnya saja ketika membaca cerita ”Lebaran Sebentar Lagi”. Jujur saya akui, saat membacanya tak terasa air mata menitik, membayangkan pedihnya hati Ucup. Saya merasakan bagaimana sedihnya perasaan Ucup ketika tak bisa memenuhi keinginan anaknya untuk membeli baju baru menjelang lebaran, tak punya uang untuk mengurus istrinya yang sakit. Sementara saya, baru saja membelikan anak-anak berpasang-pasang baju, padahal baju mereka masih ada yang layak pakai. Saya juga marah-marah kepada dokter yang salah mendiagnosa dugaan penyakit saya, hanya karena ia seorang dokter jaga. Uh...betapa terbaliknya, betapa saya tidak mensyukuri hidup ini, padahal saya sudah diberikan banyak kenikmatan oleh Allah SWT.

Seandainya saya berada di posisi Ucup, saya pasti tak akan bisa setegar ia dalam menghadapi kepahitan hidup. Saya akan nekat meminjam modal untuk berjualan tanpa memikirkan bagaimana cara saya membayarkan pinjaman tadi.

Lewat cerita Ucup, saya merenung, mampukah saya menghadapi kehidupan seperti kehidupan Ucup ? Insya Allah.

Itu cerita pertama. Cerita kedua yang berkesan adalah ”Jalan Panjang Tak Berujung”. Betapa memberikan maaf dengan hati ikhlas itu sangat susah. Mungkin saya telah memaafkan orang yang menyakiti hati saya, tapi itu hanya di mulut saja, di hati ? belum tentu. Bisa jadi, maaf saya hanya sekedar basa basi karena tidak enak dengan orang lain.

Seperti dalam cerita Jalan Panjang Tak Berujung, saya pun tahu berkali-kali Allah SWT lewat petunjuk-petunjuknya menyuruh saya untuk berlapang dada. Tapi rasanya sangat berat.

Bukan membenarkan sikap Sarah, tapi saya paham bagaimana sakitnya dikhianati apalagi oleh orang-orang tercinta. Betapa sakitnya kehilangan orang yang sangat dicintai dan sulitnya memberikan maaf untuk mereka.

Namun setidaknya cerita itu membuat saya sadar, apa yang terjadi adalah kehendak Allah SWT. Saya harus ikhlas memaafkan, tidak perlu berlama-lama menunggu pintu hati saya terbuka untuk ikhlas. Harus dimulai sekarang, karena saya mungkin akan terlambat menyadarinya.

Hanya dua saja yang berkesan ? Tidak, hampir semua cerita berkesan. Seperti halnya penulis, bulan Ramadhan memang paling berkesan bagi kaum muslim, apalagi saya dan keluarga.

Saya ingat, bagaimana ketika Ramadhan tiba, saya dan adik-adik menyambutnya dengan penuh suka cita. Terbayang di akhir Ramadhan, kami akan memakai baju baru buatan mama tercinta. Membayangkan uang yang akan kami terima dari sanak saudara sebagai THR, bisa membeli benda-benda yang kami inginkan...hehehehehe

Namun untuk urusan mudik, saya merasakannya setelah berumah tangga. Kebetulan suami saya berasal dari Yogyakarta. Saya sendiri, meskipun berasal dari suku Batak, namun hanya menumpang lahir di Medan, sementara masa kecil dan besar hingga menikah, saya jalani di Jakarta. Lagi pula orang tua saya jarang sekali mengajak kami mudik ke kampung halaman. Seingat saya, baru dua kali saya mudik ke Medan, sewaktu SD dan SMA, sehingga tak begitu banyak kesan yang tertinggal.

Barulah setelah menikah saya merasakan bagaimana rasanya mudik menjelang lebaran. Seperti cerita ”Oleh-oleh buat Mertua”, saya pun menyiapkan banyak oleh-oleh buat mertua dan saudara ipar di Yogyakarta. Saking banyaknya, suami saya sempat ngomel-ngomel karena tidak mau membawa banyak barang di kereta bisnis yang akan mengantarkan kami ke Stasiun Tugu.

Karena kami pulang dua hari menjelang lebaran, maka bisa dibayangkan betapa padatnya calon penumpang kereta api Fajar Utama saat itu. Tidak jauh berbeda dengan cerita ”Rekor Berdiri 24 Jam”, untuk masuk kedalam kereta pun, saya dan suami harus berebutan dengan penumpang lainnya. Tak jarang saling sikut, supaya bisa masuk ke dalam kereta. Alhamdulillah, kami tak perlu berdiri, karena sudah punya tiket yang ada nomor kursinya.

Setelah menikah juga, saya mengalami betapa susahnya kalau pembantu kita pulang mudik di saat lebaran. Saya tidak seberuntung tokoh Nuri di cerita ”The Most Wanted Person”, yang tempat kerjanya dekat dengan rumah. Kalau saya, saat tidak ada pembantu, mau tak mau mengungsi ke rumah orang tua, supaya anak-anak ada yang menjaga.

Betapa sedih hati saya, karena anak-anak menjadi korban dioper sana sini. Bayangkan saja, pagi-pagi mereka harus ikut ke rumah orang tua saya untuk dititipkan, kemudian sore harinya, baru pulang ke rumah. Kalau mereka lelah, terpaksa menginap di rumah kakek neneknya. Betul kata Nuri, pembantu itu memang orang yang paling penting bagi para ibu pekerja, terutama di saat-saat lebaran....hehehehehe

Sementara dalam urusan belanja untuk hari lebaran, saya sama gilanya dengan tokoh Rina Maryani..hehehehehe

Dan cerita ”Gara-gara Gila Belanja” membuat saya tertohok dan menertawakan diri sendiri karena cerita itu seakan cermin buat saya. Saya pun sadar, bahwa belanja gila-gilaan itu tak ada faedahnya. Untung kantor masih bisa memberikan THR kepada karyawannya, coba kalau seperti kantor Rina, wah bisa-bisa saya stress karena gaji habis dibelanjakan.

Ah, betapa cerita-cerita seputar bulan Ramadhan dan Idul Fitri memang selalu mengesankan. Karena itu, buku Ramadhan di Musim Gugur ini, menurut saya menginspirasi para pembacanya dan membuat kita teringat kembali akan kenangan-kenangan indah itu meski itu cerita duka atau suka.

Kalau boleh disebut dengan bahasa gaul, cerita-cerita yang ada di buku Ramadhan di Musim Gugur ini : Gue Banget!!! Hehehehe
Buku ini pantas dimiliki para pecinta buku, bahasanya sederhana namun sarat dengan makna kehidupan. Bravo untuk penulis (Elie Mulyadi) dan para kontributornya. Ditunggu cerita-cerita inspiratif lainnya.

Review and Sharing Buku "Ramadhan di Musim Gugur" 3

SAYA SUDAH JATUH HATI
Oleh: Gita Aryana (http://lovusa.multiply.com/reviews/item/24)

Saya sudah jatuh hati pada buku Ramadhan di Musim Gugur, sejak pertama kali memegangnya.Sampulnya yang cantik, layout yang tertata rapi, pemilihan jenis dan ukuran font yang pas, membuat saya semakin semangat untuk menikmati jalinan kata-kata dan kisah di dalamnya.

Ramadhan. Ah, siapapun pasti ingin menikmati indahnya. Merebut segala kemuliaannya dengan melakukan segala kebaikan.Buku ini dipilih untuk menemani hari-hari saya, agar tetap dapat memaknai, mensyukuri dan tidak menyia-nyiakan Ramadhan.

Lebaran Sebentar Lagi merupakan kisah ketiga dalam buku ini setelah Ramadhan di Musim Gugur dan The Most Wanted Person.Kisah ini paling dekat dengan keseharian saya dan mampu membuat saya merenung serta berempati.Saya turut merasakan kesedihan Bapak Penjual Topeng ketika ia tidak mampu membelikan si Sulung sebuah baju baru. Ditambah lagi dengan dagangan yang belum laris-laris.

Sempat saya berpikir, kenapa ya hari Lebaran harus selalu diidentikkan dengan baju baru dan segalanya serba baru?Saya bisa menerima jika itu adalah sebuah tradisi.Tapi, tradisi siapa?Kalau bagi orang yang mampu, membeli baju baru dan segala perlengkapannya adalah sesuatu hal yang mudah.Tapi, jika tradisi itu sampai terjangkiti pada mereka yang keuangannya biasa saja atau bahkan minim, tentu saja menjadi sesuatu yang memberatkan.

Bisa saja jika tradisi baju baru dijadikan sebagai sebuah kesempatan bagi mereka yang kaya untuk berbagi. Tapi, apakah mereka yang papa akan mendapatkannya secara adil, keseluruhan dan merata? Berbagai pertanyaan semacam ini terus saja berdengung di kepala.Sekali lagi mencoba berempati dan terus memahami, jika saya ada di posisi Bapak tersebut.

Sudah sejak dulu, saya tidak membiasakan tradisi serba baru ini berlangsung pada diri pribadi.Pada saat menjelang Lebaran, saya lebih ingin menikmati kedekatan saya dengan Allah ketimbang sibuk mencari baju baru.Sehingga jika Hari Raya tiba, saya lebih inginmemakai baju lama saya tapi dengan hati dan pemahaman yang baru.Indahnya…..

Namun, tradisi tetaplah sebuah tradisi. Tidak mudah bagi Mama untuk memahami keinginan saya ini. Beliau tetap sibuk membelikan saya baju baru dan segala pernak perniknya.Sehingga sayasedikit menyimpan damba dalam hati, kalaulah nanti saya berkeluarga dan memiliki anak, saya ingin, tradisi ini tidak menjadi tradisi keluarga kecil saya.

Alhamdulillah, sudah 5 tahun pernikahan kami dan 2 tahun usia putri saya. Kami tidak pernah mengkhususkan membeli baju pada saat Lebaran.Tidak ada alasan khusus yang menyebabkan kami melakukan ini. Hanya saja saya berpikir, tidak ada yang tahu bagaimana keadaan kami di tahun-tahun yang akan mendatang. Mungkin saja kami mendapatkan cobaan dari Allah, berupa kesulitan finansial. Dan jika kami tidak membiasakan menjalankan tradisi serba baru itu, maka insyaAllah, semuanyaakan dapat dilalui dengan lebih mudah.

Terkesan pelit? Ah, tidak juga.

Memanfaatkan uang sesuai dengan kebutuhan?Nah, ini lebih tepat.

Mengumpulkan uang seperak demi seperak sangatlah membutuhkan perjuangan.Maka tak heran, jika hari-hari si Bapak selalu dipenuhi dengan kegelisahan.Kondisi istri yang sedang sakit membuat hidup seolah semakin berat untuk dilalui.

Di awal pernikahan dulu, saya dan suami pernah menjalani sebuah usaha kecil-kecilan.Saat itu kami masih sama-sama kuliah di dua kota yang berbeda. Saya di Bandung dan suami di Jogja.Meski masing-masing orang tua masih bertanggung jawab terhadap kebutuhan kuliah dan kehidupan sehari-hari kami, tapi tentu saja rasa malu itu terus mendera.Maka, dengan niat, tekad dan Basmallah, kami berusaha mandiri.

“Kak, aku mau coba jualin aksesoris ini ah, di Jogja.Pasti laris.Di sini saja banyak yang suka”, kata saya ke suami.

“Hmmm…Boleh. Coba saja”

Akhirnya kami mengeluarkan 300 ribu sebagai modal, membeli beberapa produk yang kami anggap menarik dan menitipkannya pada sebuah took muslimah di Jogja. Alhamdulillah, laris manis. Lalu usaha kami berkembang sedikit demi sedikit, sampai akhirnya bisa membuat produk serupa sendiri.

Saat inilah kami mulai menemukan beberapa pembeli yang sangat tidak toleran terhadap pedagang seperti kami.Menawar produk dengan harga sangat rendah, bahkan jauh lebih rendah dari modal yang kami keluarkan.

“Mbak, maaf.Harga 1000 untuk setiap produk itu terlalu murah.Modal yang kami keluarkan sekitar 1500”, akhirnya saya membuka kartu kepada seorang calon pembeli.

“Yaaa…kan cuma beda 500. Saya beli banyak loh, Mbak”

“Iya, mbak.Tapi harga kami sudah seperti itu.Kurang sedikit boleh, tapi kalau sampai dibawah modal, ya ngga kami kasih dong, Mbak. Bisa rugi nanti”

“Wah, si mbak pelit amat. Yo wes, ngga jadi saja”

“Monggo, terserah mbak. Terima kasih”

Saya menarik nafas dalam-dalam agar tidak terpancing emosi.Bukan satu atau dua kali, saya menemukan pembeli seperti itu.Yang maunya menawar sampai bisa membeli dengan harga sangat rendah.Apa ia tidak berpikir, bahwa kayu, cat dan segala peralatan yang harus dibeli untuk membuat aksesoris itu harganya cukup mahal? Belum untuk menghargai tenaga dan waktu yang telah kami keluarkan.

Saya sadar bahwa harga-harga sudah semakin mahal.Tapi bukan berarti harga jual bisa ditawar sampai sebegitu rendahnya.Maka, ketika saya membaca ada seorang pembeli topeng yang membeli sesuai jumlah modal yang dikeluarkan.Saya kesaaaal sekali.Saat membaca, berulang kali hati saya berkata, “Huuh, ini ibu jahat banget”.Karena saya tahu,bagi pedagang, untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari sangat bergantung pada hasil penjualan.

Kalau banyak yang meminta pengurangan harga, maka pedagang kecil seperti si Bapakakan terus mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Kasihan sekali, bukan?

Sewaktu menjadi mahasiswa, saya pernah mendengar Aa Gym berceramah. Intinya seperti ini, “Jangan suka menawar. Kalau bisa, yang beli itu membayar lebih tinggi dari jumlah harga. Kasihan dong pedagang kecil, udah susah, masih ditawar-tawar lagi….”

Perkataan beliau terus terngiang-ngiang di telinga saya.Meski bukan ahli dalam tawar menawar, tapi saya pernah melakukan itu pada pedagang kecil.Seketika, perasaan bersalah muncul. Dan sejak itu, saya berjanji pada diri sendiri, tidak akan menawar-nawar lagi pada pedagang kecil!

Apalagi setelah mendengar wejangan dari Pak Harfan di film Laskar Pelangi, “Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya dan bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya”

That’s it!Semakin yakinlah saya untuk mencoba menghargai para pedagang, baik kecil maupun besar. Segala usaha yang dikerahkan untuk memenuhi pesanan pelanggan atau untuk menghasilkan karya terbaik atau sekedar menjualkan produk orang lain, adalah sesuatu hal yang harus dihargai.

Saya teringat, beberapa hari kemarin ada seorang teman yang bercerita,
“Gila tu, mbak. Pelit banget! Masa gue nawar 2500 aja ngga boleh”, misuh seorang teman bernama Tanti.

“Emangnya lo mau beli apa? Harga aslinya berapa?”, tanya saya.

“Gue mau beli kue lebaran.Harganya 132500.Gue minta diskon jadi 130000, dia ngga mau. Iiih, pelit banget”

“Lo jangan gitu, Tan. Siapa tau untungnya cuma 10 atau 20 % dari harga itu. Kalo lo minta diskon, gimana dia mau balik modal atau bayar karyawannya?”

Tanti terdiam sejenak.

“Tapi, bukannya itu mbak udah dapet untung dari harga segitu?”

“Ya, iyalah pasti udah untung. Tapi lo ngga tau kan, untungnya berapa dan untuk apa aja?”, saya mencoba terus menjelaskan.

“Coba sekarang gue tanya. Buat lo, 2500 itu banyak atau sedikit?”

“Dikit…”

“Naaah, kalo buat lo 2500 itu sedikit, kenapa ngga lo bayar aja? Buat pedagang mah, 2500 itu banyak. Udaaah…jangan kebanyak nawar ya. Kasian yang jual”

Meski sambil merengut, Tanti tetap berusaha mengangguk, menyetujui perkataan saya.

Sepertinya memang selalu ada jurang yang melintas dalam antara pedagang dan pembeli.Pedagang ingin keuntungan cukup, pembeli ingin harga yang murah.Tapi saya yakin, siapapun bisa melewati jurang itu dan bertemu di tengah jika mau memposisikan diri sebagai keduanya dan mencoba untuk mengerti.

Menerima suatu kebaikan adalah hal yang menyenangkan. Tapi, bukankah memberi suatu kebaikan dan menyenangkan orang lain itu jauh lebih menyenangkan? 

Minggu, 13 September 2009

Review and Sharing Buku "Ramadhan di Musim Gugur" 4

CERITA CERITA INSPIRATIF
Oleh: Nunik Utami (nunik_utami@yahoo.com)

Membaca buku “Ramadhan di Musim Gugur”, membuka kembali berbagai kenangan saat melewati Lebaran. Ada cerita yang membuatku tertawa, karena kejadiannya pernah kualami. Ada juga cerita yang membuatku sesak, karena peristiwanya hampir sama dengan yang terjadi padaku.
“Rekor Bediri 24 Jam”. Dari judulnya, aku bisa langsung menebak. Pasti isinya perjuangan untuk mencapai kampung halaman. Benar saja. Keinginan kuat untuk berlebaran bersama keluarga, membuat kita mampu menempuh perjalanan yang sama sekali tak terpikir oleh logika.
Aku bisa merasakan apa yang ada dalam tulisan itu. Bertahun-tahun lalu, keluargaku masih memiliki tradisi mudik setiap Lebaran. Ada satu peristiwa Lebaran yang tidak pernah kulupa. Saat itu, aku sekeluarga berbondong-bondong menuju stasiun kereta api. Tujuannya hanya satu : ingin berlebaran bersama keluarga besar di kampung.
Sayangnya bukan hanya keluarga kami yang memiliki tujuan seperti itu. Hampir seluruh penduduk ibukota memiliki tujuan yang sama!
Berangkat ke stasiun selepas adzan Subuh. Berharap mendapatkan angkutan yang bisa membawa ke kampung halaman dengan cepat. Ternyata, yang terjadi sangat jauh dari harapan. Jangankan masalah kenyamanan. Bisa melihat kereta yang dapat mengangkut ke tempat tujuan saja sudah merupakan anugerah mahabesar. Belum lagi harus berdesakan agar memperoleh tempat duduk.
Aku tersenyum getir saat penulis bercerita memasukkan barang bawaan melalui jendela bus. Begitu juga yang terjadi padaku. Susah payah kami saling membantu agar barang-barang bisa masuk ke dalam kereta. Tak mengapa kami tidak mendapat tempat duduk. Yang terpenting, kami bisa terangkut menuju kampung halaman. Meskipun harus berdiri sepanjang perjalanan Jakarta – Jawa Tengah!
Saat kereta mulai berjalan, penderitaan semakin bertambah. Kami harus berjuang “melawan” para pedagang yang hilir mudik di dalam kereta. Mereka tampaknya tidak kenal lelah dan pantang menyerah menjajakan dagangan, di tengah-tengah lautan manusia. Terbawa rasa lelah, kesal, dan hampir putus asa, setiap pedagang yang lewat kuhalang-halangi dan kuinjak kakinya agar tak bisa lewat!
Ah, betapa tulisan itu membuatku bernostalgia.
Cerita lain dalam buku “Ramadhan di Musim Gugur” yang membuatku terhenyak adalah “Jalan Panjang Tak Berujung”.
Cerita itu membuatku merenung. Bahwa semua orang memiliki masalah, aku sudah tahu. Namun kisah itu membuat mataku terbuka lebar-lebar dan menyadari, ternyata masalah yang dihadapi orang lain jauuuhh lebih berat dari pada masalah yang kuhadapi.
Termenung, melamun, dan menyesali nasib. Itulah yang terjadi padaku ketika terhantam masalah. Aku tak henti-hentinya menangis dan meratap. Menganggap Allah tidak adil karena memberiku masalah yang rasanya tak mungkin bisa kuatasi. Merasa diri paling malang sedunia karena masalah itu sangat berat.
Saat membaca cerita itu, dadaku sesak. Aku bisa ikut merasakan apa yang dirasakan penulis. Seakan-akan aku yang mengalami sendiri. Hidup memang ibarat berjalan di jalan panjang yang ujungnya tidak bisa kita ketahui. Karenanya, setiap langkah harus benar-benar diperhatikan. Segala sesuatu yang kita lakukan sudah semestinya dipikirkan panjang-panjang, berikut akibatnya. Juga, jangan sampai lengah. Dan yang terpenting, tetap pasrahkan semuanya pada Sang Pencipta. Sebab, tidak ada satu hal pun yang terjadi tanpa campur tanganNya.
Banyak sekali pelajaran yang dapat kuambil dari kisah ini. Selain kesabaran, keikhlasan, juga kepasrahan. Sabar, karena kita pasti bisa keluar dari masalah itu, ikhlas, karena ini telah dipilihkan oleh Yang Maha Kuasa untuk menguji dan membuat kita “naik kelas”, juga pasrah, karena ini terjadi semata-mata karena Allah sayang pada kita.
Memberi maaf pada orang lain memang sulit. Dari kisah ini pula aku berpendapat, bahwa saat terhantam badai, kita bisa memaafkan diri sendiri, karena belum bisa memaafkan orang lain. Mungkin dari situlah kita mulai belajar memaafkan. Memaafkan diri sendiri dahulu, baru kemudian memaafkan orang lain.
Kisah ini membuatku merasa memiliki “teman senasib”. Tidak hanya itu, juga memberiku inspirasi dan kekuatan. Mulai hari ini dan seterusnya, aku tidak akan meratapi nasib lagi. Aku akan selalu mengingat, banyak orang lain yang kisah hidupnya lebih mengiris hati. Kalau mereka bisa tegar, aku juga harus bisa. Bukankah Allah tidak akan menguji diluar batas kemampuan hambanya?
Satu lagi cerita yang membuatku “terbangun” adalah “Gara-Gara Gila Belanja”. Perempuan mana sih yang tidak senang belanja? Mulai baju, sepatu, kosmetik, sampai perlengkapan rumah tangga seperti panci, kompor, sprei, bahkan belanja buku.
Aku sebagai seorang perempuan, mengakui bahwa belanja memberikan kepuasan tersendiri. Apalagi jika barang belanjaan tersebut sangat diperlukan. Berburu barang di mal hingga mendapatkan yang sesuai – baik harga maupun kualitasnya – bisa membuatku merasa puas dan melayang-layang bahagia!
Belum selesai sampai di situ. Setelah barang yang kuidam-idamkan itu berhasil kudapatkan, aku bisa memandanginya lamaaa sekali. Seakan-akan barang itu adalah harta karun yang kudapatkan kembali setelah hilang berabad-abad.
Lebaran adalah momen yang sangat tepat untuk belanja. Semua mal berlomba-lomba memberikan diskon besar-besaran. Saat itu adalah kesempatan emas untuk mendapatkan barang bagus dengan harga yang miring. Apalagi setiap tahun, perusahaan tempatku bekerja memberikan THR untuk semua karyawan.
Mal diskon besar-besaran, kantor memberikan THR. Pas, bukan?
Boleh dikatakan, setiap tahun uang THR habis dalam sekejap, sehari atau dua hari setelah uang itu ada di tangan. Sebelum THR turun pun sudah ada berjuta rencana belanja di kepala. Daftar barang yang akan dibeli juga sudah diluar kepala. Begitu THR didapat, aku langsung melesat. Bukan hanya membeli barang yang dibutuhkan, aku juga bisa kalap menyambar apa saja yang terlihat indah di mal, lalu langsung memboyong ke kasir.
Membaca kisah “Gara-Gara Belanja”, aku merasa diingatkan. Aku seperti diikat dan ditarik ke bumi saat terbang melayang. Kita memang tidak pernah bisa mengetahui secara tepat, apa yang akan terjadi di hari depan. Jangankan beberapa hari atau beberapa bulan atau beberapa tahun ke depan. Kejadian satu detik ke depan saja kita tak bisa menebak dengan pasti.
Dari kisah itu dapat kuambil kesimpulan, kita tetap harus ingat bahwa hidup tak hanya hari ini. Meskipun tak pernah tahu bagaimana bentuk masa depan, sudah seharusnya kita menyiapkan segala sesuatunya sedini mungkin. Harus memiliki bekal untuk menjalani masa yang belum tiba itu. Bekal itu bisa berbantuk macam-macam. Fisik, mental, maupun keuangan.
Okelah kita memang gila belanja. Tapi kita kan manusia yang sudah diberi akal sehat. Jangan sampai kita habiskan uang untuk belanja saat itu juga, selebihnya merana karena tak punya uang untuk hidup.
Well, boleh saja kita belanja. Tapi juga harus diingat, kita bukan seekor ayam yang mendapat makanan hari itu, langsung dihabiskan hari itu juga. Kita harus punya rencana dan persiapan untuk masa depan. Sebab kita kan tidak tahu di depan itu ada sandungan apa.
Sesak juga dadaku membaca akhir kisah “Gara-Gara Gila Belanja”. Aku harus hati-hati berbelanja. Jangan sampai menghabiskan uang yang ada, apalagi sampai meminjam dahulu dari orang lain dengan prinsip “nanti diganti kalau sudah dapat THR”. Ya kalau kantorku tetap memberi THR seperti tahun-tahun lalu. Kalau tiba-tiba batal memberi THR seperti dalam kisah itu, bagaimana?

Rabu, 19 Agustus 2009

A sample story from the inspiring book "Ramadhan di Musim Gugur"

Ramadhan di Musim Gugur

Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh. Seharusnya mentari sudah muncul di langit, menyembul di antara awan-awan putih, menebarkan cahayanya yang semburat hangat. Tapi saat kusibakkan gorden jendela, ternyata hari masih gelap.

Aku bergegas mengenakan baju baruku. Gamis berenda warna hijau muda – senada dengan kerudung instan di kepalaku – yang baru sampai ke tanganku minggu lalu. Aku menyukai baju ini, baju yang dikirim oleh seseorang yang kucintai, seseorang yang selama hidup kupanggil dengan sebutan ‘Ummi’. Namun sayang cuaca dingin di luar membuatku terpaksa menutupinya dengan mantel tebal.

Setelah puas mematut diri, kulilitkan syal di leherku. Aku sudah siap berangkat sekarang. Namun tiba-tiba, jauh di lubuk hatiku, muncul semacam perasaan gundah. Ini hari lebaran, dan ini akan menjadi lebaran pertama yang kulewatkan jauh dari rumah. Aku rindu Ummi-ku, Abi-ku, dan adik-adikku yang berada jauh di negeri kelahiranku. Saat ini mereka mungkin sudah sholat Ied bersama di mesjid raya, kemudian berpelukan, bermaaf-maafan, dan saling merevisi arti kata ‘sayang’. Dan di sini, di cuaca pagi segelap ini, aku malah melangkah sendirian.

Bergegas aku menuju stasiun, mengejar kereta pukul delapan yang melaju dari Amsterdam ke Den Haag. Aku akan menuju suatu tempat di mana aku bisa menggenapkan ibadah puasaku selama bulan Ramadhan yang cukup melelahkan. Ya, tujuanku adalah Mesjid Al Hikmah, mesjid yang akan dikunjungi ratusan warga muslim Indonesia dari berbagai penjuru Belanda. Di sana aku akan menunaikan sholat Ied untuk yang pertama kalinya.

Duduk di kereta sendirian, di tengah orang-orang tak dikenal yang mungkin punya tujuan sama denganku, membuat dadaku terasa pilu. Baru dua bulan aku menginjakkan kaki di negeri kincir angin ini, demi menempuh studi masterku di Universiteit van Amsterdam melalui beasiswa. Dan kedatanganku langsung disambut oleh bulan yang suci ini, bulan yang ketika berada di tanah air selalu kunanti-nanti.

Aku masih ingat, minggu lalu umurku genap dua puluh tiga. Tapi Ramadhan pertamaku, di sebuah negeri asing, membuatku sering menangis seperti anak kecil. Bukan karena puasa di sini berlangsung dari waktu subuh sampai pukul delapan malam, alias dua jam lebih lama dibanding ketika puasa di negeri sendiri. Bukan pula karena selama tiga puluh hari berturut-turut aku harus mengosongkan perut di tengah cuaca dingin yang membuatmu terus menerus lapar dan ngantuk. Juga bukan karena aku menjadi kaum minoritas yang harus selalu siap menjawab pertanyaan dari teman-temanku sesama mahasiswa. Tentang kenapa aku berjilbab, kenapa aku sholat, kenapa aku puasa, dan kenapa-kenapa lain yang membuatku harus terus menerus menjelaskan identitas kemuslimanku.

Tapi karena aku sendirian. Ya, aku sendirian. Di bulan Ramadhan, dan sekarang, di hari Lebaran. Hari yang seharusnya kuhabiskan bersama keluarga, akan berlalu begitu saja tanpa perasaan istimewa.

Dulu, saat aku masih tinggal di rumah, Ramadhan selalu terasa indah. Ummi – ibuku- sibuk di dapur kesayangannya, membuat makanan lezat untuk kami sekeluarga berbuka. Ketika adzan maghrib tiba, aku dan adik-adikku berlarian ke meja makan, berebut tajil kurma dan kolak pisang. Tajil langsung diikuti dengan nasi hangat, sup ayam, goreng ikan, dan seabreg santapan lezat yang selalu terhidang di meja selama bulan puasa. Belum lagi kue-kue kering dan buah-buahan pencuci mulut. Segala yang ketika siang hari terlihat lezat dan membuat lapar, akhirnya tak muat semua di perut. Kami terkapar kekenyangan. Kemudian Abi – ayah kami – akan mematikan tayangan sinetron Ramadhan di televisi, membangunkan kami untuk berwudhu dan melaksanakan sholat berjamaah di mushola keluarga. Setelah itu kami bersama-sama menuju mesjid kompleks untuk sholat isya dan tarawih. Malamnya kami tadarus, lalu tidur dan dibangunkan untuk sahur.

Semua itu tak ada di sini. Meski banyak orang bilang aku gadis yang beruntung bisa kuliah di luar negeri, pada kenyataannya ‘berada di luar negeri’ tidaklah seindah kedengarannya. Terutama jika kau menghadapi hari raya. Kenyataan berada jauh dari rumah membuat hatiku nelangsa.

Aku rindu opor ayam dan ketupat buatan Ummi. Aku rindu suara takbir yang dilantunkan Abi. Aku rindu keributan yang dibuat oleh adik-adikku, saat mereka bangun pagi, berlarian ke kamar mandi, mengenakan baju baru, dan berlomba menjadi yang pertama duduk di mobil untuk menuju ke mesjid raya. Setelah sholat Ied dan salaman dengan semua sanak saudara dan tetangga, mereka berebut aneka hidangan lezat di meja. Ziarah ke makam keluarga dilakukan pada sore harinya. Semua itu rutinitas, yang pernah kujalani selama dua puluh dua kali dalam hidupku. Namun sekarang, aku malah merindukan rutinitas itu. Ya Tuhan, betapa aku ingin pulang!

Tak terasa kereta yang kutumpangi sudah tiba di Den Haag Centraal Station. Sesuai petunjuk yang telah kuperoleh sebelumnya, aku segera mencari Tram nomor 16 jurusan Moerwijk. Selama 20 menit lamanya aku duduk di kendaraan umum kota yang disesaki ratusan jamaah Idul Fitri ini. Untuk pertamakalinya sejak menginjakkan kaki di negeri asing ini, aku bertemu dengan ratusan orang berbahasa Indonesia, dari berbagai kalangan usia, yang mungkin juga bernasib sama. Tapi berbeda denganku, wajah-wajah mereka ceria, anak-anak berceloteh riang gembira, meski garis nasib telah membuat mereka terpisah jauh dari keluarga. Ah, mungkin karena mereka sudah lebih lama tinggal di Belanda, pikirku.

Ketika tram yang kutumpangi berhenti di halte Heeswijkplein, aku dan semua penumpang turun. Mesjid Al Hikmah sudah berdiri menjulang di hadapan. Bersama ratusan orang lainnya, aku berjalan menuju mesjid itu. Takbir dan takhmid sudah berkumandang menyambutku. Dan hatiku tergetar pilu. Kulihat di sisi kanan kiriku, pepohonan menggugurkan daun-daunnya. Sangat cocok dengan suasana hatiku yang kelabu.

Ketika sedang sibuk menghayati irama takbir yang menggetarkan hati, bersama rasa sendiri yang menyelimuti, tiba-tiba sesuatu menyentuh sarung tanganku. Tidak, bukan sarung tanganku, melainkan jemariku yang tertutup sarung tangan. Aku menoleh untuk mengetahui apa yang terjadi. Dan di sanalah seseorang dalam balutan mantel kuning tengah menatapku, tersenyum padaku. Tidak, dia tidak hanya tersenyum, melainkan mengembangkan kedua tangannya untukku.

“Lestari, kamu masih ingat aku?” katanya sambil mempertontonkan matanya yang berbinar.

Aku diam tak bersuara, tak tahu harus melakukan apa. Oke, dia gadis berwajah Indonesia, memakai mantel yang mirip denganku, memakai kerudung sepertiku, dan usianya pastilah tak beda denganku. Tapi aku tidak mengenal gadis itu, dan namaku bukan Lestari. Mengapa dia bersikap seolah sedang tanpa sengaja menemukan sahabat lama?

Menyadari aku diam saja dalam kebingungan, gadis itu segera bertindak duluan. Dia memelukku. Beberapa saat lamanya dia memelukku erat, sehingga daun-daun musim gugur sempat jatuh di antara kepala kami. “Kau pasti tidak ingat aku, kita kan sudah lama nggak ketemu sejak lulus SMA.”

Sesaat terbersit di kepalaku untuk menyebutnya orang gila. Tapi sebuah seruan pengumuman dari masjid membuat kami segera melepas pelukan dan berlari untuk mengambil air wudhu. Jam sudah menunjukkan pukul 9.05, sholat ied akan segera dimulai. Sayang sekali mesjid ternyata sudah disesaki oleh antrean, dan ukurannya terlalu kecil untuk menampung semua jamaah. Karena pengurus tidak mengijinkan jamaah untuk sholat di luar mesjid seperti yang umum terjadi di Indonesia, akhirnya sholat Ied dibagi menjadi dua sesi. Aku yang datang agak terlambat, kebagian sesi kedua. Dan saat itulah aku punya kesempatan untuk membuka percakapan dengan gadis yang barusan memperlakukanku sebagai teman lama.

“Maaf, tapi namaku bukan Lestari, dan setahuku aku tidak punya teman SMA sepertimu,” kataku sambil memeluk mukena...


Penasaran dengan cerita ini? Temukan kelanjutannya beserta kisah-kisah indah dan inspiratif lainnya dalam buku terbaru yang akan beredar di seluruh toko buku Gramedia mulai tanggal 25 Agustus 2009 ini. Berikut deskripsinya:

Judul Buku: Ramadhan di Musim Gugur
Genre: Koleksi kisah inspirasi & pengembangan diri
Penulis: Elie Mulyadi dkk
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Harga: Rp 38.000,-
Tebal: 264 hlm