Senin, 14 September 2009

Review and Sharing Buku "Ramadhan di Musim Gugur" 1

KESAN TERHADAP RAMADHAN DI MUSIM GUGUR
Oleh: Haya Aliya Zaki (haya_az@yahoo.com)

Buku Elie Mulyadi yang pertama kali saya baca adalah: Kerjaku Ibadahku. Saya sangat suka ragam kisahnya. Juga cara penulisnya bertutur. Tak pernah saya bosan untuk berulang menekuri. Setiap membaca buku itu, api semangat kembali bergelora dan puji syukur kian membuncah, atas pekerjaan yang Allah anugerahkan kepada saya kini.

Seorang sahabat, Rini Nurul Badariah (kalau boleh saya menyebut nama), mengabarkan bahwa telah terbit buku terbaru karya Elie Mulyadi berjudul: Ramadhan di Musim Gugur. Saya langsung bersigap mengangkat langkah ke toko buku. Dan ternyata, pesona Ramadhan di Musim Gugur melebihi dugaan saya. Kisah-kisahnya terjalin begitu cantik dan lembut. Tema-nya banyak macam. Ketika membacanya, kalbu saya beralih-alih suasana, mulai dari haru, sedih, senang, hingga gelak tawa. Akhirnya, buku yang memuat 29 batang kisah itu tuntas saya tebas dalam satu malam.

Kisah yang membuat saya meneteskan air mata adalah Jalan Panjang Tak Berujung. Kisah tokoh Sarah mirip dengan kejadian yang menimpa tante saya, Sri, meski tidak sama persis. Menjelang lebaran, Tante Sri kehilangan 2 orang yang dicintainya –suami dan anak bungsunya- sekaligus, dengan cara tragis. Tante Sri termasuk sanak kerabat yang sangat saya sayangi. Maka, ketika ia dihampiri musibah ini, batin saya seolah ikut dicacah perih keadaan. Berikut kisahnya.

Tante Sri ditinggal wafat suaminya (Om Fadil) pada saat usia pernikahan mereka terbilang lumayan belia. Om Fadil meninggal karena sakit diabetes. Karena tak mampu menutup biaya rumah kontrakan yang ditempati, akhirnya Tante Sri bersama sepupu-sepupu saya yang masih kecil, Ratih dan Maya, terpaksa pindah.

Alhamdulillah, tak perlu mencari lama, Tante Sri sudah mendapat rumah kontrakan baru. Memang tak sebesar yang sudah, tapi cukuplah untuk ditinggali mereka bertiga. Tante Sri membuka warung kecil-kecilan di depan rumah. Warung itu cukup laris karena Tante Sri yang cantik, sangat ramah dan luwes melayani pembeli. Setiap bulan ibu saya pun rutin membantu keuangan Tante Sri, meski kala itu kondisi ekonomi keluarga kami terbilang jauh dari mapan.

Berhubung Ibu dan Tante Sri hanya 2 bersaudara, simpul darah antar mereka sangat kuat. Hal ini menular kepada saya. Saya sangat sayang pada Tante Sri. Saya merasa Tante Sri adalah keluarga terdekat yang saya miliki, selain keluarga inti. Sedangkan Kakek-Nenek dan keluarga besar lain, menetap di kampung semua.

Bertahun-tahun Tante Sri hidup sendiri. Pria yang melamar datang silih berganti. Saya tersenyum-senyum melihat cara mereka meraih simpati Tante Sri. Ada yang datang dengan mobil mewah, berpakaian rapi dan hmmm…wanginyaaa….(bikin kepala ini pening), membelikan aneka hadiah, sampai membawakan makanan enak-enak. Nah, kalau yang terakhir, saya sering kecipratan hihihi….Namun, ‘secanggih’ apa pun usaha mereka, Tante Sri tetap tak bisa menjatuhkan pilihan. Bayangkan, semua yang melamar Tante Sri adalah pria beristri! Tentu saja Tante Sri menolak! Ia tidak mau dicap sebagai wanita perusak rumah tangga orang.

Hingga suatu ketika, Tante Sri berkenalan dengan seorang pemuda, Mas Agus, namanya. Ia dan keluarganya penghuni baru di daerah tempat tinggal Tante Sri. Mas Agus pemuda yang gagah dan tampan. Secara fisik, ia sangat menarik. Pendidikannya pun baik. Saat itu ia berstatus mahasiswa. Saya yakin banyak dara yang tertusuk panah sang dewi amor ketika memandangnya.

Mas Agus sering mampir ke warung Tante Sri. Mula-mula, sikap Mas Agus sama seperti pembeli-pembeli lain. Tapi lama kelamaan, ada yang aneh. Mas Agus dan Tante Sri sering saya lihat bergurau mesra. Ia betah duduk berjam-jam di warung Tante Sri hingga saya merasa risih. Apalagi Ratih dan Maya. Wajah mereka jelas murung melihat sang ibu bergaul akrab dengan Mas Agus. Saya perhatikan, kalau tidak karena segan pada ibu, Mas Agus dan Tante Sri tak akan beranjak dari duduk mereka. Beberapa kali saya merapat dengar ketika ibu menasihati Tante Sri. Ibu kuatir sikap Tante Sri dan Mas Agus menjadi santapan empuk para tetangga penggunjing.

Setahun berlalu, Tante Sri menemui keluarga kami dengan membawa kejutan sepahit empedu. Tante Sri akan menikah dengan Mas Agus!

"Apakah ibunya setuju kau menikah dengan anaknya, Sri?!” tanya ibu saya pada Tante Sri. Suaranya membelah ruangan. Matanya menjelma belati.

Tante Sri terdiam beberapa jenak. “Tidak…” jawabnya lirih. “Agus berkata, ibunya tak akan mengijinkan ia menikah dengan seorang janda…”

“….dan, berumur pula…!” potong ibu saya, cepat.

“Tapi ia mencintai aku! Dan yang paling penting, ia lelaki bebas! Tidak seperti lelaki lain yang pernah melamarku!” Tante Sri membela diri.

Ibu terhenyak lemas di kursi. “Sadarkah kau, Sri? Usia kalian terpaut 15 tahun! Bukannya aku kejam sama kau, tapi terus terang aku pesimis kalau mengingat bakal seperti apa biduk rumah tanggamu nanti! Bagaimana perasaan anak-anakmu pula? Sudah kau pikirkan masak-masak keputusanmu?”

Saya mengingat pasti, semenjak peristiwa itu, hubungan ibu saya dan Tante Sri menjadi renggang. Tante Sri selalu memaling wajah bila ibu mulai mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan seputar rencana pernikahannya dengan Mas Agus. Ratih dan Maya hanya bisa pasrah. Sepertinya tak ada lagi yang bisa menghadang niat ibu mereka.

“Walau Kakak tak kunjung mengulur restu, aku akan tetap menikah!” demikian putus Tante Sri, tajam. Tante Sri yang selalu berlisan halus, mendadak berubah. Ia sering meradang dan merepet seharian. Akhirnya, bagai hati tertindih bongkahan batu, ibu merestui pernikahan Tante Sri. Tapi ibu tak ikut menghadiri akad nikah itu karena pernikahan Tante Sri dan Mas Agus dilaksanakan di suatu tempat, entah dimana. Tak ada keluarga kami yang hadir, demikian pula keluarga Mas Agus. Tak boleh ada foto-foto. Pernikahan yang tak wajar, menurut saya. Tapi itu semua atas permintaan Mas Agus. Setelah menikah, Tante Sri dan sepupu-sepupu saya diboyong pindah ke rumah kontrakan lain. Yang jauh dari tempat tinggal keluarga Mas Agus. Mas Agus benar-benar menyimpan rapi pernikahannya dengan Tante Sri.

Alhamdulillah, beberapa waktu kemudian, kami dicurahi kabar bahagia. Ratih lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri, di kota kami. Tak tanggung-tanggung, ia diterima di jurusan kedokteran! Sedangkan Maya, naik kelas I SMA. Selepas kuliah, Mas Agus pun sudah mendapatkan pekerjaan di pelayaran. Sekian bulan ia mesti berlayar mencari rezeki, meninggalkan Tante Sri sekeluarga. Tapi bagi Tante Sri itu tidak masalah. Ia percaya penuh pada Mas Agus.

Kabar bahagia datang lagi. Dalam waktu tak berjauhan, Ratih lulus ujian masuk STAN! Amboi, siapa yang tak tergiur dengan kuliah bebas dana? Ratih memilih meninggalkan studi kedokteran dan beranjak memasuki STAN. Tapi apa jawaban Mas Agus?

“Jangan sekali-sekali ditinggalkannya kuliah kedokteran itu! Aku yang akan membiayai! Berapa pun! Jangan kuatir!”

Berbungalah hati Tante Sri mendengar tekad Mas Agus. Ratih mantap melanjutkan kuliah kedokterannya. Perhatian Mas Agus pada keluarga terjaga dan kiriman uang lancar, sesuai janji. Tak berapa lama, saya menikah dan tinggal di kota lain bersama suami. Tapi kabar tentang Tante Sri masih erat menyapa telinga saya.

Ternyata, manisnya madu yang direguk Tante Sri, hanya bermasa singkat. Mas Agus mulai susah dihubungi saat berlayar. Kalau pun pulang, ia hanya pulang ke rumah ibunya. Tidak ke rumah Tante Sri. Kiriman uang juga tersendat. Dan akhirnya, Mas Agus seperti benar-benar raib ditelan bumi.

Tante Sri panik. Ratih dan Maya panik. Kami semua panik. Tante Sri putar otak menyambung hidup. Ratih dan Maya bingung bagaimana cara melanjutkan pendidikan mereka. Keluarga kami geram tak terbilang. Setahun lebih lamanya Mas Agus hilang tanpa pesan.

Di bulan Romadhon, ketika hari masih muda, tahu-tahu Mas Agus muncul di rumah Tante Sri. Bukan main marahnya Tante Sri. Ia menangis panjang. Ia merasa disia-siakan. Mas Agus menelan semua amarah dan tangisan itu dengan sikap dingin. Tante Sri mendadak ditikam takut melihat sikap suaminya. Benar saja.

“Aku akan menikah dengan gadis pilihan orangtuaku,” desis Mas Agus, singkat. “Lagipula, kita belum juga dikaruniai anak…”

Tak peduli Tante Sri meraung-raung sambil bersujud menahan langkahnya, Mas Agus tetap pergi. Dan hari itu adalah hari terakhir ia menjejakkan kaki di rumah Tante Sri.

Beberapa hari kemudian, saya mendengar berita kalau Maya sakit. Hanya sakit panas. Ratih telah memberinya obat. Tapi setelah 4 hari, karena panasnya tak kunjung turun, rencananya Maya akan dibawa ke rumah sakit. Ketika sedang bersiap-siap hendak berangkat, leher Maya telah terkulai. Ia dipanggil menghadap Sang Khalik.

Kematian Maya yang tiba-tiba, membuat syok keluarga kami. Karena baru melahirkan, saya tidak bisa hadir pada pemakaman Maya. Keadaan waktu itu sangat memprihatinkan. Saya dengar, Tante Sri bertingkah seperti orang gila. Ia sangat stres. Lebaran pun disambut tangisan menyayat hati.

Butuh waktu bertahun-tahun bagi Tante Sri untuk pulih dari kondisi psikis yang sempat terjerembab. Alhamdulillah, sesudah kesulitan, pasti ada kemudahan. Allah selalu menepati janji-Nya. Selanjutnya, kebahagiaan kembali tercurah pada keluarga Tante Sri. Meski terseok-seok biaya, Ratih berhasil menyelesaikan kuliahnya dan sekarang sudah membuka praktik sendiri di rumah. Kemudian Ratih dianugerahi jodoh pria santun, sholih, dan pekerja keras. Tante Sri tinggal bersama anak dan menantunya. Kini ia sedang bersiap menanti kelahiran sang cucu ke dunia.

Saya yakin, tokoh Sarah akan menemukan kembali kebahagiaannya yang pernah terengut, seperti tante saya. Saya yakin, lebaran yang akan datang, entah kapan, telaga kasih sayang akan sempurna membasuhnya, lahir batin. Saya turut mendoakan…. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar