Senin, 14 September 2009

Review and Sharing Buku "Ramadhan di Musim Gugur" 3

SAYA SUDAH JATUH HATI
Oleh: Gita Aryana (http://lovusa.multiply.com/reviews/item/24)

Saya sudah jatuh hati pada buku Ramadhan di Musim Gugur, sejak pertama kali memegangnya.Sampulnya yang cantik, layout yang tertata rapi, pemilihan jenis dan ukuran font yang pas, membuat saya semakin semangat untuk menikmati jalinan kata-kata dan kisah di dalamnya.

Ramadhan. Ah, siapapun pasti ingin menikmati indahnya. Merebut segala kemuliaannya dengan melakukan segala kebaikan.Buku ini dipilih untuk menemani hari-hari saya, agar tetap dapat memaknai, mensyukuri dan tidak menyia-nyiakan Ramadhan.

Lebaran Sebentar Lagi merupakan kisah ketiga dalam buku ini setelah Ramadhan di Musim Gugur dan The Most Wanted Person.Kisah ini paling dekat dengan keseharian saya dan mampu membuat saya merenung serta berempati.Saya turut merasakan kesedihan Bapak Penjual Topeng ketika ia tidak mampu membelikan si Sulung sebuah baju baru. Ditambah lagi dengan dagangan yang belum laris-laris.

Sempat saya berpikir, kenapa ya hari Lebaran harus selalu diidentikkan dengan baju baru dan segalanya serba baru?Saya bisa menerima jika itu adalah sebuah tradisi.Tapi, tradisi siapa?Kalau bagi orang yang mampu, membeli baju baru dan segala perlengkapannya adalah sesuatu hal yang mudah.Tapi, jika tradisi itu sampai terjangkiti pada mereka yang keuangannya biasa saja atau bahkan minim, tentu saja menjadi sesuatu yang memberatkan.

Bisa saja jika tradisi baju baru dijadikan sebagai sebuah kesempatan bagi mereka yang kaya untuk berbagi. Tapi, apakah mereka yang papa akan mendapatkannya secara adil, keseluruhan dan merata? Berbagai pertanyaan semacam ini terus saja berdengung di kepala.Sekali lagi mencoba berempati dan terus memahami, jika saya ada di posisi Bapak tersebut.

Sudah sejak dulu, saya tidak membiasakan tradisi serba baru ini berlangsung pada diri pribadi.Pada saat menjelang Lebaran, saya lebih ingin menikmati kedekatan saya dengan Allah ketimbang sibuk mencari baju baru.Sehingga jika Hari Raya tiba, saya lebih inginmemakai baju lama saya tapi dengan hati dan pemahaman yang baru.Indahnya…..

Namun, tradisi tetaplah sebuah tradisi. Tidak mudah bagi Mama untuk memahami keinginan saya ini. Beliau tetap sibuk membelikan saya baju baru dan segala pernak perniknya.Sehingga sayasedikit menyimpan damba dalam hati, kalaulah nanti saya berkeluarga dan memiliki anak, saya ingin, tradisi ini tidak menjadi tradisi keluarga kecil saya.

Alhamdulillah, sudah 5 tahun pernikahan kami dan 2 tahun usia putri saya. Kami tidak pernah mengkhususkan membeli baju pada saat Lebaran.Tidak ada alasan khusus yang menyebabkan kami melakukan ini. Hanya saja saya berpikir, tidak ada yang tahu bagaimana keadaan kami di tahun-tahun yang akan mendatang. Mungkin saja kami mendapatkan cobaan dari Allah, berupa kesulitan finansial. Dan jika kami tidak membiasakan menjalankan tradisi serba baru itu, maka insyaAllah, semuanyaakan dapat dilalui dengan lebih mudah.

Terkesan pelit? Ah, tidak juga.

Memanfaatkan uang sesuai dengan kebutuhan?Nah, ini lebih tepat.

Mengumpulkan uang seperak demi seperak sangatlah membutuhkan perjuangan.Maka tak heran, jika hari-hari si Bapak selalu dipenuhi dengan kegelisahan.Kondisi istri yang sedang sakit membuat hidup seolah semakin berat untuk dilalui.

Di awal pernikahan dulu, saya dan suami pernah menjalani sebuah usaha kecil-kecilan.Saat itu kami masih sama-sama kuliah di dua kota yang berbeda. Saya di Bandung dan suami di Jogja.Meski masing-masing orang tua masih bertanggung jawab terhadap kebutuhan kuliah dan kehidupan sehari-hari kami, tapi tentu saja rasa malu itu terus mendera.Maka, dengan niat, tekad dan Basmallah, kami berusaha mandiri.

“Kak, aku mau coba jualin aksesoris ini ah, di Jogja.Pasti laris.Di sini saja banyak yang suka”, kata saya ke suami.

“Hmmm…Boleh. Coba saja”

Akhirnya kami mengeluarkan 300 ribu sebagai modal, membeli beberapa produk yang kami anggap menarik dan menitipkannya pada sebuah took muslimah di Jogja. Alhamdulillah, laris manis. Lalu usaha kami berkembang sedikit demi sedikit, sampai akhirnya bisa membuat produk serupa sendiri.

Saat inilah kami mulai menemukan beberapa pembeli yang sangat tidak toleran terhadap pedagang seperti kami.Menawar produk dengan harga sangat rendah, bahkan jauh lebih rendah dari modal yang kami keluarkan.

“Mbak, maaf.Harga 1000 untuk setiap produk itu terlalu murah.Modal yang kami keluarkan sekitar 1500”, akhirnya saya membuka kartu kepada seorang calon pembeli.

“Yaaa…kan cuma beda 500. Saya beli banyak loh, Mbak”

“Iya, mbak.Tapi harga kami sudah seperti itu.Kurang sedikit boleh, tapi kalau sampai dibawah modal, ya ngga kami kasih dong, Mbak. Bisa rugi nanti”

“Wah, si mbak pelit amat. Yo wes, ngga jadi saja”

“Monggo, terserah mbak. Terima kasih”

Saya menarik nafas dalam-dalam agar tidak terpancing emosi.Bukan satu atau dua kali, saya menemukan pembeli seperti itu.Yang maunya menawar sampai bisa membeli dengan harga sangat rendah.Apa ia tidak berpikir, bahwa kayu, cat dan segala peralatan yang harus dibeli untuk membuat aksesoris itu harganya cukup mahal? Belum untuk menghargai tenaga dan waktu yang telah kami keluarkan.

Saya sadar bahwa harga-harga sudah semakin mahal.Tapi bukan berarti harga jual bisa ditawar sampai sebegitu rendahnya.Maka, ketika saya membaca ada seorang pembeli topeng yang membeli sesuai jumlah modal yang dikeluarkan.Saya kesaaaal sekali.Saat membaca, berulang kali hati saya berkata, “Huuh, ini ibu jahat banget”.Karena saya tahu,bagi pedagang, untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari sangat bergantung pada hasil penjualan.

Kalau banyak yang meminta pengurangan harga, maka pedagang kecil seperti si Bapakakan terus mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Kasihan sekali, bukan?

Sewaktu menjadi mahasiswa, saya pernah mendengar Aa Gym berceramah. Intinya seperti ini, “Jangan suka menawar. Kalau bisa, yang beli itu membayar lebih tinggi dari jumlah harga. Kasihan dong pedagang kecil, udah susah, masih ditawar-tawar lagi….”

Perkataan beliau terus terngiang-ngiang di telinga saya.Meski bukan ahli dalam tawar menawar, tapi saya pernah melakukan itu pada pedagang kecil.Seketika, perasaan bersalah muncul. Dan sejak itu, saya berjanji pada diri sendiri, tidak akan menawar-nawar lagi pada pedagang kecil!

Apalagi setelah mendengar wejangan dari Pak Harfan di film Laskar Pelangi, “Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya dan bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya”

That’s it!Semakin yakinlah saya untuk mencoba menghargai para pedagang, baik kecil maupun besar. Segala usaha yang dikerahkan untuk memenuhi pesanan pelanggan atau untuk menghasilkan karya terbaik atau sekedar menjualkan produk orang lain, adalah sesuatu hal yang harus dihargai.

Saya teringat, beberapa hari kemarin ada seorang teman yang bercerita,
“Gila tu, mbak. Pelit banget! Masa gue nawar 2500 aja ngga boleh”, misuh seorang teman bernama Tanti.

“Emangnya lo mau beli apa? Harga aslinya berapa?”, tanya saya.

“Gue mau beli kue lebaran.Harganya 132500.Gue minta diskon jadi 130000, dia ngga mau. Iiih, pelit banget”

“Lo jangan gitu, Tan. Siapa tau untungnya cuma 10 atau 20 % dari harga itu. Kalo lo minta diskon, gimana dia mau balik modal atau bayar karyawannya?”

Tanti terdiam sejenak.

“Tapi, bukannya itu mbak udah dapet untung dari harga segitu?”

“Ya, iyalah pasti udah untung. Tapi lo ngga tau kan, untungnya berapa dan untuk apa aja?”, saya mencoba terus menjelaskan.

“Coba sekarang gue tanya. Buat lo, 2500 itu banyak atau sedikit?”

“Dikit…”

“Naaah, kalo buat lo 2500 itu sedikit, kenapa ngga lo bayar aja? Buat pedagang mah, 2500 itu banyak. Udaaah…jangan kebanyak nawar ya. Kasian yang jual”

Meski sambil merengut, Tanti tetap berusaha mengangguk, menyetujui perkataan saya.

Sepertinya memang selalu ada jurang yang melintas dalam antara pedagang dan pembeli.Pedagang ingin keuntungan cukup, pembeli ingin harga yang murah.Tapi saya yakin, siapapun bisa melewati jurang itu dan bertemu di tengah jika mau memposisikan diri sebagai keduanya dan mencoba untuk mengerti.

Menerima suatu kebaikan adalah hal yang menyenangkan. Tapi, bukankah memberi suatu kebaikan dan menyenangkan orang lain itu jauh lebih menyenangkan? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar