Minggu, 13 September 2009

Review and Sharing Buku "Ramadhan di Musim Gugur" 4

CERITA CERITA INSPIRATIF
Oleh: Nunik Utami (nunik_utami@yahoo.com)

Membaca buku “Ramadhan di Musim Gugur”, membuka kembali berbagai kenangan saat melewati Lebaran. Ada cerita yang membuatku tertawa, karena kejadiannya pernah kualami. Ada juga cerita yang membuatku sesak, karena peristiwanya hampir sama dengan yang terjadi padaku.
“Rekor Bediri 24 Jam”. Dari judulnya, aku bisa langsung menebak. Pasti isinya perjuangan untuk mencapai kampung halaman. Benar saja. Keinginan kuat untuk berlebaran bersama keluarga, membuat kita mampu menempuh perjalanan yang sama sekali tak terpikir oleh logika.
Aku bisa merasakan apa yang ada dalam tulisan itu. Bertahun-tahun lalu, keluargaku masih memiliki tradisi mudik setiap Lebaran. Ada satu peristiwa Lebaran yang tidak pernah kulupa. Saat itu, aku sekeluarga berbondong-bondong menuju stasiun kereta api. Tujuannya hanya satu : ingin berlebaran bersama keluarga besar di kampung.
Sayangnya bukan hanya keluarga kami yang memiliki tujuan seperti itu. Hampir seluruh penduduk ibukota memiliki tujuan yang sama!
Berangkat ke stasiun selepas adzan Subuh. Berharap mendapatkan angkutan yang bisa membawa ke kampung halaman dengan cepat. Ternyata, yang terjadi sangat jauh dari harapan. Jangankan masalah kenyamanan. Bisa melihat kereta yang dapat mengangkut ke tempat tujuan saja sudah merupakan anugerah mahabesar. Belum lagi harus berdesakan agar memperoleh tempat duduk.
Aku tersenyum getir saat penulis bercerita memasukkan barang bawaan melalui jendela bus. Begitu juga yang terjadi padaku. Susah payah kami saling membantu agar barang-barang bisa masuk ke dalam kereta. Tak mengapa kami tidak mendapat tempat duduk. Yang terpenting, kami bisa terangkut menuju kampung halaman. Meskipun harus berdiri sepanjang perjalanan Jakarta – Jawa Tengah!
Saat kereta mulai berjalan, penderitaan semakin bertambah. Kami harus berjuang “melawan” para pedagang yang hilir mudik di dalam kereta. Mereka tampaknya tidak kenal lelah dan pantang menyerah menjajakan dagangan, di tengah-tengah lautan manusia. Terbawa rasa lelah, kesal, dan hampir putus asa, setiap pedagang yang lewat kuhalang-halangi dan kuinjak kakinya agar tak bisa lewat!
Ah, betapa tulisan itu membuatku bernostalgia.
Cerita lain dalam buku “Ramadhan di Musim Gugur” yang membuatku terhenyak adalah “Jalan Panjang Tak Berujung”.
Cerita itu membuatku merenung. Bahwa semua orang memiliki masalah, aku sudah tahu. Namun kisah itu membuat mataku terbuka lebar-lebar dan menyadari, ternyata masalah yang dihadapi orang lain jauuuhh lebih berat dari pada masalah yang kuhadapi.
Termenung, melamun, dan menyesali nasib. Itulah yang terjadi padaku ketika terhantam masalah. Aku tak henti-hentinya menangis dan meratap. Menganggap Allah tidak adil karena memberiku masalah yang rasanya tak mungkin bisa kuatasi. Merasa diri paling malang sedunia karena masalah itu sangat berat.
Saat membaca cerita itu, dadaku sesak. Aku bisa ikut merasakan apa yang dirasakan penulis. Seakan-akan aku yang mengalami sendiri. Hidup memang ibarat berjalan di jalan panjang yang ujungnya tidak bisa kita ketahui. Karenanya, setiap langkah harus benar-benar diperhatikan. Segala sesuatu yang kita lakukan sudah semestinya dipikirkan panjang-panjang, berikut akibatnya. Juga, jangan sampai lengah. Dan yang terpenting, tetap pasrahkan semuanya pada Sang Pencipta. Sebab, tidak ada satu hal pun yang terjadi tanpa campur tanganNya.
Banyak sekali pelajaran yang dapat kuambil dari kisah ini. Selain kesabaran, keikhlasan, juga kepasrahan. Sabar, karena kita pasti bisa keluar dari masalah itu, ikhlas, karena ini telah dipilihkan oleh Yang Maha Kuasa untuk menguji dan membuat kita “naik kelas”, juga pasrah, karena ini terjadi semata-mata karena Allah sayang pada kita.
Memberi maaf pada orang lain memang sulit. Dari kisah ini pula aku berpendapat, bahwa saat terhantam badai, kita bisa memaafkan diri sendiri, karena belum bisa memaafkan orang lain. Mungkin dari situlah kita mulai belajar memaafkan. Memaafkan diri sendiri dahulu, baru kemudian memaafkan orang lain.
Kisah ini membuatku merasa memiliki “teman senasib”. Tidak hanya itu, juga memberiku inspirasi dan kekuatan. Mulai hari ini dan seterusnya, aku tidak akan meratapi nasib lagi. Aku akan selalu mengingat, banyak orang lain yang kisah hidupnya lebih mengiris hati. Kalau mereka bisa tegar, aku juga harus bisa. Bukankah Allah tidak akan menguji diluar batas kemampuan hambanya?
Satu lagi cerita yang membuatku “terbangun” adalah “Gara-Gara Gila Belanja”. Perempuan mana sih yang tidak senang belanja? Mulai baju, sepatu, kosmetik, sampai perlengkapan rumah tangga seperti panci, kompor, sprei, bahkan belanja buku.
Aku sebagai seorang perempuan, mengakui bahwa belanja memberikan kepuasan tersendiri. Apalagi jika barang belanjaan tersebut sangat diperlukan. Berburu barang di mal hingga mendapatkan yang sesuai – baik harga maupun kualitasnya – bisa membuatku merasa puas dan melayang-layang bahagia!
Belum selesai sampai di situ. Setelah barang yang kuidam-idamkan itu berhasil kudapatkan, aku bisa memandanginya lamaaa sekali. Seakan-akan barang itu adalah harta karun yang kudapatkan kembali setelah hilang berabad-abad.
Lebaran adalah momen yang sangat tepat untuk belanja. Semua mal berlomba-lomba memberikan diskon besar-besaran. Saat itu adalah kesempatan emas untuk mendapatkan barang bagus dengan harga yang miring. Apalagi setiap tahun, perusahaan tempatku bekerja memberikan THR untuk semua karyawan.
Mal diskon besar-besaran, kantor memberikan THR. Pas, bukan?
Boleh dikatakan, setiap tahun uang THR habis dalam sekejap, sehari atau dua hari setelah uang itu ada di tangan. Sebelum THR turun pun sudah ada berjuta rencana belanja di kepala. Daftar barang yang akan dibeli juga sudah diluar kepala. Begitu THR didapat, aku langsung melesat. Bukan hanya membeli barang yang dibutuhkan, aku juga bisa kalap menyambar apa saja yang terlihat indah di mal, lalu langsung memboyong ke kasir.
Membaca kisah “Gara-Gara Belanja”, aku merasa diingatkan. Aku seperti diikat dan ditarik ke bumi saat terbang melayang. Kita memang tidak pernah bisa mengetahui secara tepat, apa yang akan terjadi di hari depan. Jangankan beberapa hari atau beberapa bulan atau beberapa tahun ke depan. Kejadian satu detik ke depan saja kita tak bisa menebak dengan pasti.
Dari kisah itu dapat kuambil kesimpulan, kita tetap harus ingat bahwa hidup tak hanya hari ini. Meskipun tak pernah tahu bagaimana bentuk masa depan, sudah seharusnya kita menyiapkan segala sesuatunya sedini mungkin. Harus memiliki bekal untuk menjalani masa yang belum tiba itu. Bekal itu bisa berbantuk macam-macam. Fisik, mental, maupun keuangan.
Okelah kita memang gila belanja. Tapi kita kan manusia yang sudah diberi akal sehat. Jangan sampai kita habiskan uang untuk belanja saat itu juga, selebihnya merana karena tak punya uang untuk hidup.
Well, boleh saja kita belanja. Tapi juga harus diingat, kita bukan seekor ayam yang mendapat makanan hari itu, langsung dihabiskan hari itu juga. Kita harus punya rencana dan persiapan untuk masa depan. Sebab kita kan tidak tahu di depan itu ada sandungan apa.
Sesak juga dadaku membaca akhir kisah “Gara-Gara Gila Belanja”. Aku harus hati-hati berbelanja. Jangan sampai menghabiskan uang yang ada, apalagi sampai meminjam dahulu dari orang lain dengan prinsip “nanti diganti kalau sudah dapat THR”. Ya kalau kantorku tetap memberi THR seperti tahun-tahun lalu. Kalau tiba-tiba batal memberi THR seperti dalam kisah itu, bagaimana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar